REPUBLIKA.CO.ID, JOMBANG -- Tidak mudah melaksanakan muktamar dengan peserta demikian banyak. Inilah yang diakui, Ketua Panitia Nasional Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33, Imam Aziz.
''Kami sudah berusaha keras. Rasanya kami juga menyadari jika masih terdapat komplain namun kami sadar kalau tugas kami sesungguhnya adalah melayani para muktamirin yang hadir di sini,'' kata Imam Aziz yang juga menjabat sebagai salah satu ketua di PBNU ini, Rabu (5/8).
Ia percaya, dengan keterbatasan pelayanan selama muktamar akan bisa diterima secara baik muktamirin. Ini karena, niatan melayani peserta tak lahir secara instan. Yang pasti, para peserta muktamar menginginkan yang terbaik dari NU.
Pria kelahiran Pati, Jawa Tengah, pada 1962 ini telah merintis pendidikan formalnya dengan menimba ilmu di madrasamilik KH Ahmad Sahal. Ia kemudian melanjutkan pendidikan itu dengan berkuliah di IAIN Sunan Kalijaga pada dekade 1980-an.
Gairahnya untuk membawa NU menjadi lebih terbuka ditunjukkan juga dengan pendirian Lembaga Kajian Islam Sosial (LKIS) pada 1993. Aktivitas tersebut ternyata mengantarkannya kepada penghargaan seperti Ashoka Fellowship pada 2003. Ia didaulat sebagai tokoh multikultural oleh organisasi bernama Islamic Fair of Indonesia (IFI) pada 2011.
''Saat itu kami di LKIS mengembangkan wacana keislaman yang transformatif dan toleran, khususnya melalui penerbitan ratusan judul buku yang konsisten dengan visi keislaman yang transformatif dan toleran,'' kenangnya.
Pada April 2015, ia juga kembali mendapatkan penghargaan dari dunia internasional. Sebuah lembaga dari Korea Selatan bernama Yayasan Perdamaian Jeju memberikannya penghargaan atas kegigihannya membela kelompok minoritas dan tertindas. ''Ke depan NU harus lebih mampu menerjemahkan nilai-nilai Islam yang toleran,'' ujarnya.