REPUBLIKA.CO.ID, JOMBANG -- Pakar antropologi Belanda Martin van Bruinessen memenuhi undangan panitia Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang untuk mengisi seminar internasional. Seminar bertema “Menjelang Satu Abad: Quo Vadis Nahdlatul Ulama” tersebut diselenggarakan di Universitas Hasyim Asy’ari Jombang, Sabtu (1/8).
Kehadiran Martin mengisi materi tersebut tidak terlepas dari riwayat akademisnya yang banyak meneliti situasi Islam di Indonesia, khususnya NU. Selain pakar dalam tema Islam Indonesia, akademisi Utrecht University Belanda itu juga meneliti Islam di sejumlah negara lain di Asia.
Martin menyampaikan pandangannya mengenai prospek gagasan Islam Nusantara yang diusung NU untuk memberi sumbangsih pada kehidupan Islam di dunia. Menurut Martin, Islam di Indonesia telah melewati fase yang menarik. Pascalengsernya Suharto, menurut Martin, Indonesia banyak menghadapi konflik horizontal, mulai dari konflik etnis hingga agama, yang tak jarang diwarnai kekerasan.
Namun, Martin berpendapat, Indonesia berhasil mengatasi rintangan itu. “Kadang ada preman yang menyerang gereja, Ahmadiyah, Syiah. Tapi itu tidak meluas besar-besaran, seperti di Suriah, Pakistan dan sebagainya,” ujar Martin dengan artikulasi Bahasa Indonesia yang sangat fasih.
Menurut Martin, ormas yang mapan seperti NU dan Muhammadiyah berperan penting dalam menciptakan kehidupan kekeberagamaan yang relatif kondustif di Indonesia. “Indonesia memiliki pengalaman hidup damai dan menerima keberagaman, baik di dalam umat satu agama, maupun bangsa dengan berbagai agama. Itu sangat bermanfaat bagi dunia. Dan sangat wajar kalau umat Islam dari daerah konflik tertarik belajar dari Indonesia,” kata Martin.
Gagasan Islam Nusantara atau Islam damai ala Indonesia, seperti yang diprmosikan NU, menurut Martin, harus terus diperkenalkan kepada dunia. Saluran internet, menurut dia, bias dimanfaatkan umat Islam Indonesia, khususnya NU, untuk menyampaikan gagasannya melalui bahasa internasional.
Selain itu, menurut dia, keberadaan mahasiswa Islam Indonesia di luar negeri pun bisa membantu mempromosikan gagasan Islam damai ala Indonesia. “Di luar negeri, NU banyak diwakili mahasiswa. Mereka bisa menjadi duta budaya dan tradisi NU. Tidak harus menjadi misionaris agar mereka menerima cara NU.Tapi setidaknya memperkenalkan,” ujar Martin.