REPUBLIKA.CO.ID, JOMBANG -- Mekanisme pemilihan Rais 'Aam dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33 di Jombang, Jawa Timur masih belum mendapat titik temu. Silang pendapat masih terjadi di internal NU. Sebagian pihak setuju menggunakan metode pemilihan Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA), begitu juga sebaliknya.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Marsudi Syuhud mengatakan, perbedaan pendapat yang terjadi dalam menentukan metode untuk pemilihan Rais 'Aam merupakan sesuatu yang wajar. Perbedaan pendapat di NU, kata dia, bahkan selalu terjadi di setiap pembahasan apapun di internal ormas Islam terbesar di Indonesia ini.
"Dari jaman dulu juga begitu, di NU (perbedaan pendapat) sudah biasa," kata Marsudi kepada ROL, Jumat (31/7).
Pemilihan Rais 'Aam dengan menggunakan mekanisme AHWA masih terjadi perbedaan yang sengit. Namun Marsudi meyakini, tidak akan terjadi permusuhan atau bahkan perpecahan di NU akibat persaingan individu untuk merebut jabatan. Semua pihak diyakini berniat tulus untuk ormas Islam warisan ulama ini.
AHWA merupakan mekanisme untuk memilih Rais 'Aam PBNU yang akan diterapkan dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang 1-5 Agustus mendatang. Keputusan itu lahir sebagai produk hasil Munas NU di Jakarta pada 14 Juni lalu. AHWA nantinya akan diisi oleh 9 ulama NU.
Mereka yang masuk anggota harus memiliki keriteria beraqidah Ahlussunnah wal Jamaah al Nahdliyah, wara', zuhud, bersikap adil, berilmu, integritas moral, tawadlu', berpengaruh, dan mampu memimpin.
Sejumlah nama sudah muncul ke permukaan untuk mencalonkan diri. Beberapa di antaranya KH Hasyim Muzadi untuk posisi Rais ‘Aam, serta KH Said Aqil Siradj, KH Sholahuddin Wahid, H As’ad Said Ali, dan H Muhammad Adnan untuk posisi Ketua Umum Tanfidziyah.