REPUBLIKA.CO.ID, CIPUTAT -- Sejak saat itulah, saya sudah sah menjadi seorang mualaf. Saya pun mulai belajar mengaji.
Perlahan demi perlahan saya mengenal huruf-huruf Arab. Alhamdulillah selama tiga bulan saya berhasil mengkhatamkan buku iqra’. Tentu ini sangat mengejutkan bagi para ustaz yang mengajariku. Biasanya anak-anak yang belajar iqra’ tidak secepat itu. Berkat ketekunan dan hidayah dari Allah SWT, saya berhasil mengkhatamkannya.
Kelebihan yang Allah berikan kepadaku dalam mempelajari buku-buku iqra’ adalah hal yang sangat saya syukuri. Saya pun dianjurkan untuk segera mempelajari juz ‘amma, juz ke-30 dalam Alquran. Saya pun mulai menghafal surat ad-dhuha ketika itu. Memang karena aku masih baru pertama kali menghafal surat panjang.
Alhamdulillah, hanya butuh waktu dua hari, saya sudah bisa menghafalnya. “Subhanallah, sungguh ini adalah sebuah mukjizat yang Allah berikan kepadaku. Jangankan mengetahui arti dan bisa menulis dalam bahasa Arab, mengenalnya saja belum terlalu dekat, namun aku sudah bisa menghafalnya. Sungguh ini adalah benar-benar sebuah petunjuk yang diberikan oleh Allah kepadaku.” ucapku dalam hati.
“Annas, kamu adalah hamba yang telah dipilih oleh Allah untuk memeluk Islam. Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya terbengkalai dalam ilmu dan pengetahuan. Ini buktinya, kamu bisa menghafal ayat Alquran dalam dua hari. Besok akan ustaz belikan Alquran untukmu, agar kamu bisa semakin mudah mempelajarinya,” tutur ustaz kepada saya.
Benar saja, keesokan harinya ustaz membawakan Alquran. Saya begitu bahagia dan bersemangat. “Annas, mulai sekarang kamu belajar mengaji dengan menggunakan Alquran. InsyaAllah, pelan-pelan kamu akan bisa membaca dan mengkhatamkannya juga.”
Aktivitas sebagai pekerja kasar di apotek tempatku bekerja sempat membuatku harus mencari waktu-waktu yang tepat untuk belajar Islam. Tidak jarang dalam pikiranku tiba-tiba muncul pertanyaan tentang Islam ketika bekerja, sehingga harus menunda untuk bertanya kepada orang yang memahami Islam tentang ini.
Hal ini saya alami beberapa kali, hingga membuatku bertanya-tanya mengapa pertanyaan ini selalu muncul. Pertanyaan yang muncul seperti mengapa saya mudah untuk mempelajari dan menghafal Alquran.
Ketika saya masih menganut agama yang lama, sangat sulit untuk mempelajari Injil? Mengapa bacaan dalam Alquran sangat begitu rapih dan teratur, seperti ada harakat, ada baris, tajwid, berakhiran dengan bunyi yang mirip, hingga bisa dilagukan.
Sedangkan dalam kitab suciku dulu tidak demikian. Ia hanya berisi bacaan dalam bahasa Indonesia yang sangat mudah dibaca oleh anak SD sekali pun. Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang terus ada dalam pikiranku, sehingga membuat tubuhku lemah dan akhirnya jatuh sakit. Mungkin karena beban pikiran yang aku alami membuat tubuhku tidak kuat untuk memikul beban tersebut.
Kondisi tubuhku yang sakit ini mengakibatkan aku tidak dapat bekerja. Salah seorang temanku yang beragama Islam datang dan membantuku. “Annas, kamu kenapa? Sakit? Ayo saya bantu ke rumah sakit?” katanya kepadaku.
Kata dokter, saya menderita gejala tipus, yang diindikasi dari demam tinggi dan mengharuskan aku untuk dirawat di rumah sakit. Akan tetapi, karena ketiadaan biaya, saya memutuskan untuk berobat jalan saja. (Bersambung)