Senin 27 Jul 2015 17:27 WIB
Muktamar NU

Keputusan Ahlul Halli wal ‘Aqdi Tidak Muncul Tiba-Tiba

Rep: c38/ Red: Agung Sasongko
Struktur pimpinan pusat dan daerah PBNU berfoto bersama dalam Halaqah Ulama bertema
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Struktur pimpinan pusat dan daerah PBNU berfoto bersama dalam Halaqah Ulama bertema

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gagasan Ahlul Halli wal ‘Aqdi (Ahwa) akan diterapkan dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang, awal bulan depan. Menghadapi sejumlah kritik, NU menegaskan gagasan ini telah melalui serangkaian penelitian dan pengkajian di kalangan PBNU sejak beberapa tahun lalu.

Setelah Rais ‘Aam Sahal Mahfudh menginstruksikan tim khusus untuk menggodog gagasan Ahlul Halli wal ‘Aqdi (ahwa), tercapailah satu naskah akademis tentang konsep tersebut. Naskah itu dibahas dalam Munas dan Konbes ke-2 pada 2-3 November 2014 di Jakarta.

Dilansir dari website resmi Nahdlatul Ulama, nu.or.id, Senin (27/7), hasil munas dan konbes menyepakati dan menetapkan digunakannya sistem ahlul halli wal ‘aqdi dalam pemilihan kepemimpinan NU. Penerapan dilaksanakan secara bertahap untuk mengidentifikasi hal-hal yang perlu disempurnakan di masa depan.

Konsep ini dimulai untuk pemilihan atau penetapan Rais ‘Aam dan rais syuriah di semua tingkatan. Sementara, ketua umum dan ketua-ketua tanfidziah masih dengan pemilihan langsung. Munas dan Konbes memberi mandat kepada PBNU untuk menyusun aturan operasional bagi penerapan konsep ahwa.

Munas Alim Ulama ke-3 pada 14-15 Juni 2015 di Jakarta diselenggarakan sebagai pelaksanaan mandat keputusan Munas dan Konbes ke-2 tahun 2014 tersebut. Melalui proses panjang tersebut, NU menegaskan bahwa gagasan ahlul halli wal aqdi tidaklah muncul secara tiba-tiba.

Apalagi, jika dikatakan semata-mata manuver sesaat untuk perebutan kursi kepemimpinan Nahdlatul Ulama dalam Muktamar ke-33 nanti.  Perebutan jabatan dinilai amat bertentangan dengan nilai-nilai ideal Nahdlatul Ulama dan tidak pantas dilakukan para ulama.

Menurut NU, sistem ahwa dengan sendirinya akan menyumbat intervensi pihak luar dalam pemilihan kepemimpinan NU. Pasalnya, pemegang wewenang adalah para ulama yang matang secara keilmuan dan maqom rohaninya. Mereka tak dapat digoda dengan bujukan-bujukan duniawi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement