REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Konsep ahlul halli wal ‘aqdi (ahwa) mengemuka dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang, 1-5 Agustus mendatang. Dilansir dari website resmi Nahdlatul Ulama, nu.or.id, diskusi tentang ahlul halli wa ‘aqdi kabarnya telah dimulai sejak tahun 2012.
Konsep ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap realitas proses pemilihan kepemimpinan NU di berbagai tingkatan. Proses pemilihan disinyalir semakin kuat dicampuri oleh pihak-pihak dari luar NU demi kepentingan politik sesaat.
Calon-calon pilkada bertarung mendukung calon pimpinan NU dari kubu masing-masing. Lebih memprihatinkan lagi, pertarungan dalam berbagai forum permusyawaratan Nahdlatul Ulama di berbagai tingkat itu hampir selalu melibatkan politik uang untuk jual beli suara. Hal itu dikhawatirkan akan menjurus pada kerusakan moral di kalangan jajaran kepemimpinan NU.
Pada tahun 2012, PWNU Jawa Timur akan menerapkan model Ahlul Halli Wal ‘Aqdi dalam konferensi wilayah mereka. Tapi lantaran belum ada payung hukum yang memadai, PBNU meminta supaya maksud tersebut ditunda.
Selanjutnya, dalam Rapat Pleno ke-2 PBNU di Wonosobo, 6-8 September 2013, Rais ‘Aam K.H. Sahal Mahfudh memerintahkan PBNU memproses gagasan tentang Ahlul Halli Wal ‘Aqdi. Harapannya, gagasan itu menjadi aturan yang dapat diterapkan dalam pemilihan kepemimpinan di seluruh jajaran kepengurusan NU.
Berdasarkan perintah Rais ‘Aam tersebut, dibentuklah satu tim khusus, dipimpin oleh K.H. Masdar F. Mas’udi (Rais Syuriah PBNU) dan Drs. Abdul Mun’im DZ (Wakil Sekjen PBNU). Tim itu melakukan penelitian dan kajian-kajian hingga dihasilkan suatu naskah komprehensif tentang model Ahlul Halli Wal ‘Aqdi.