REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Jennifer A. Bell telah mencari Tuhan sejak berusia delapan tahun. Ia tinggal di daerah pedesaan yang hanya ada dua pilihan; Kristen atau tidak percaya pada Tuhan. Tidak ada jenis agama lain.
Dilansir dari onislam.net, Jumat (24/7), Jennifer telah memiliki masalah dengan Kekristenan sejak kecil. Ia tidak percaya pada konsep trinitas dan ketuhanan Yesus. Ia berpindah dari satu gereja ke gereja lain, tapi tidak menemukan jawaban.
Saat ia mulai remaja, tatanan masyarakat Amerika mulai mengalami kerusakan. Selama waktu-waktu tersebut, ia berada pada kondisi penuh masalah. Ada beberapa kesempatan ia hampir mati, baik dibunuh maupun bunuh diri. Ia menjadi pecandu alkohol, narkoba, dan seks bebas.
Di bangku kuliah, Jennifer bertemu seorang pria yang kemudian menjadi suaminya. Pria itu tidak pernah terjerumus dalam dunia bebas yang dilakoni Jennifer. Ia seorang pria yang baik dengan karakter moral kuat, meski tidak percaya pada Tuhan.
Jennifer tidak tahu mengapa laki-laki itu tertarik padanya. Tapi, ia membantu Jennifer hidup normal kembali. Ini adalah saat di mana Jennifer mulai merasa dekat dengan Tuhan.
Lewat literatur di perpustakaan, ia mulai membaca tentang agama-agama lain yang ia dengar. Hindu, Buddha. Yahudi, Shinto, dan lain-lain. Hanya saja, ia masih belum mendengar tentang Islam. Jennifer masih belum menemukan jalan untuk mengeksplorasi kebenaran.
Jennifer kemudian menikah dengan pria teman kuliahnya. Ia cukup puas dengan pernikahan dan karirnya. Tapi, itu hanya sementara. Ia divonis oleh dokter tidak akan pernah bisa hamil. Lantaran masa lalunya yang buruk, ada terlalu banyak kerusakan pada rahim Jennifer.
Realita berbicara lain. Jennifer hamil. Ia pun begitu terkejut dan bersyukur. Ia berdoa janin yang dikandungnya terlahir laki-laki, dengan mata biru seperti suaminya. Dan, anaknya memang lahir dengan semua ciri-ciri yang ia minta. Sekarang ia sadar, itu tanda-tanda dari Allah atas pencariannya.
Setelah melahirkan, Jennifer mengalami masalah emosional. Dokter mendiagnosisnya mengalami depresi post-partum (depresi pasca-melahirkan). Pernikahannya berada di ambang kehancuran, sementara keluarganya berantakan.
Bibit-bibit kehancuran rumah tanga itu telah muncul sejak ia hamil, tapi baru meledak tiga tahun kemudian. Untuk melarikan diri dari kenyataan, ia menghabiskan waktu dengan chatting di internet.
Suatu malam, Jennifer chatting dengan seorang pria. Bahasa Inggrisnya bisa dimengerti, tapi tidak cukup baik. Jelas ia bukan orang Amerika. Tapi, Jennifer merasa pria itu berbeda dari yang lain. Ia masih menghabiskan waktu untuk chatting dengan pria yang sama selama beberapa hari kemudian.
Pada pertemuan ketiga atau keempat, pria itu menyatakan diri sebagai Muslim. Ia mulai menjelaskan tentang Islam. Mereka berdiskusi tentang trinitas dan Yesus. Jennifer tidak bisa membantah apa yang pria itu katakan. Lebih jauh lagi, ia merasa semua benar. Tapi, itu tidak serta merta meyakinkannya bahwa Islam memang agama yang benar.
Sementara, hidupnya begitu berantakan. Belum lepas dari krisis rumah tangga, ia mendapat masalah di tempat kerja. Jennifer jatuh ke dalam depresi yang parah. Otot-otot lehernya tegang dan sulit berbicara. Ia hampir tidak tidur atau makan. Jennifer merasa putus asa. Ia hanya bisa pergi ke dokter dan menelan pil anti-depresi.
Jennifer kembali menemui pria Muslim, teman chattingnya di internet. Ia tampak tahu begitu banyak hal. Awalnya, apa yang ia katakan terdengar aneh. Pria itu hanya menyuruh Jennifer mandi, membersihkan diri dari kepala sampai kaki, menjernihkan pikiran, dan konsentrasi pada Allah.
Meski heran, ia ikut saja apa yang diperintahkan pria Muslim itu. Anehnya, setelah beberapa saat berkonsentrasi pada Tuhan, ia merasa kedamaian yang menenangkan memenuhi hati dan jiwanya. Padahal selama ini ia begitu kacau dan sulit berkonsentrasi. Ia merasa Tuhan masuk ke dalam hatinya.
Lewat pengalaman dan penjelasan teman chattingnya, Jennifer merasa menemukan agama yang tepat. Hanya berselang seminggu kemudian, ia membuat janji dengan seorang imam di masjid. Perempuan itu akhirnya memutuskan bersyahadat.
“Kedamaian yang saya rasakan hari itu, tidak pernah meninggalkan saya lagi,” aku Jennifer.