Kamis 23 Jul 2015 07:15 WIB

Perlukah Risaukan Gerakan Keagamaan Transnasional di Indonesia?

Masa Hizbut Tahrir Indonesai (HTI) membawa spanduk Ramadhan saat menggelar pawai dan Tahrib Ramadhan di Jalan Thamrin, Jakarta, Sabtu (13/6).
Foto:

Apa yang perlu dilakukan pemerintah?

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama tidak perlu merisaukan keberadaan gerakan-gerakan keagamaan transnasional ini. Mereka bahkan harus diterima sebagai kenyataan yang pada dasarnya ingin melengkapi pelayanan keagamaan yang sudah diberikan oleh organisasi-organisasi keagamaan yang telah lama eksis. Bila perlu, pemerintah membantu untuk membangun jaringan intelektual bersama agar sinergitas gerakan keagamaan di antara organisasi keagamaan terjalin.

Hal yang dapat lakukan oleh Kementerian Agama, khususnya Direktorat Jenderal Bimas Islam, Bimas Kristen, dan Bimas Buddha adalah memfasilitasi pertemuan antara gerakan keagamaan transnasional dengan organisasi keagamaan lokal yang telah mapan di Indonesia, sehingga ada kesepahaman di antara mereka dan pembinaan keagamaanpun dapat saling mendorong dalam upaya membumikan nilai-nilai agama Islam di Indonesia.

Kekhawatiran tentang pengambilalihan berbagai rumah ibadah yang dibangun oleh umat simpatisan organisasi keagamaan mapan oleh simpatisan gerakan keagamaan transnasional sebenarnya tidak perlu terjadi, mengingat bahwa umumnya umat setempat yang selama ini juga ikut membangun, setidaknya orang tua mereka. Hal yang dapat lakukan oleh Kementerian Agama RI, khususnya Direktorat Jenderal Bimas Islam, Bimas Kristen dan Bimas Buddha, adalah memfasilitasi pertemuan antara gerakan keagamaan transnasional dengan organisasi keagamaan lokal yang telah mapan di Indonesia.

Sehingga ada kesepahaman di antara mereka dan membangun jaringan kerja kelembagaan dan kegiatan berkaitan dengan metode memakmurkan rumah ibadah yang sudah dibangun di berbagai pelosok Indonesia, sehingga pengembangan agama dapat berjalan tanpa saling menjatuhkan atau menyalahkan yang lain.

Secara politik, keberadaan keagamaan transnasional tidak perlu dikhawatirkan, karena perimbangan politik yang ada saat ini kiranya sudah dapat dipastikan telah permanen, sehingga sulit membayangkan cita-cita gerakan mereka terwujud secara komprehensif.

Justru organisasi partai politik maupun ormas keagamaan dapat membangun jaringan politik, sehingga pesan-pesan moral agama dapat dijadikan sandaran dalam setiap pengambilan keputusan lagislasi di parlemen. Hal yang dapat lakukan oleh Kementerian Agama RI, khususnya Direktorat Jenderal Bimas Islam memfasilitasi pertemuan antara gerakan keagamaan transnasional dengan organisasi keagamaan lokal yang telah mapan dan partai politik di Indonesia agar supaya tercipta kesepahaman bersama yang berkaitan dengan kepentingan politik umat beragama di Indonesia.

Meskipun pendanaan gerakan kegamaan transnasional ini umumnya bersifat mandiri, hendaknya Kementerian Agama RI dapat melacak sumber-sumber dana dari luar yang mengalir ke rekening gerakan keagamaan ini. Penelitian ini belum berhasil melacak aspek tersebut. Keberadaan data tentang sumber dana asing ini akan membantu pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap semua organisasi keagamaan di Indonesia. Singkatnya, keberadaan GPdI, GBI, Buddha Maitrya dan Buddha Soka Ghakai secara politik tidak perlu dikhawatirkan juga karena kelompok ini tergolong minoritas. Bukan gerakan keagamaan arus utama (mainstream). Pemerintah hanya perlu memenuhi hak-hak mereka sebagai warga negara dengan tidak menjadikannya warga kelas dua.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement