REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain harus berhati-hati agar tidak tercebur ke air, tim harus melewati pohon-pohon atau semak belukar, yang tidak jarang menghalangi jalan untuk tim melintas.
Tim juga harus melewati Pemakaman Pulau Karya, yang suasananya sangat sepi lantaran belum diberi penerangan. Selain karena penduduknya yang sedikit, Pulau Karya kurang menjadi tujuan wisata karena memiliki komplek pemakaman yang cukup besar.
Setelah sampai di lokasi, tim langsung mempersiapkan cukup banyak persiapan, mulai dari persiapan alat, mencari titik barat sejati hingga mengajari orang-orang menggunakan alat pemantauan.
Puji syukur kerap terucap, lantaran yang ditunggu akhirnya terlihat. Hilal yang menandakan berakhirnya Ramadhan, serta menjadi panduan kalau Hari raya Idul Fitri bisa dilaksanakan esok hari, terlihat mengintip dari tepi langit, tak lama setelah adzan mahgrb berkumandang.
"Itulah alasan kami memilih lokasi ini," kata Ketua Tim Falakiyah Jakarta Islamic Centre, Abdul Kholik Soleh, yang memimpin rukyatul hilal tersebut.
Setelah tugas terlaksana, tim akhirnya menikmati hidangan berbuka puasa, yang sudah mereka bawa sebelumnya. Bahkan, mereka harus menikmati hidangan dengan penerangan seadanya, cenderung gelap gulita, lantaran genset yang dibawa ternyata hanya bisa memberikan
tenaga pada satu lampu kecil. Makan selesai, tim memutuskan kembali ke dermaga, agar dapat segera pulang ke rumah.Sayang, ombak yang tinggi membuat kapal tidak bisa melintas dan harus menunggu sampai ombak lebih bersahabat. Tim yang baru sampai
ke Pulau Panggang dengan ojeg kapal sekitar pukul 21.00, harus menggunakan kapal nelayan yang sangat besar agar dapat menyeberangi laut.
Praktis, perjalanan yang memakan waktu lebih dari empat jam, baru bisa mengantarkan tim ke Pelabuhan Muara Angke sekitar pukul 01.00, untuk kembali ke rumah masing-masing dan merayakan Hari Raya Idul Fitri 1436 Hijriah.