REPUBLIKA.CO.ID,
Kesedihan saya ditambah lagi dengan pemberian sebidang tanah seluas enam puluh meter persegi di daerah pedalaman Bogor. Sebelumnya ayah pernah berjanji akan memberikan tanah seluas tiga ratus meter persegi kepada saya di daerah Tangerang Selatan, namun pasca saya memutuskan untuk memeluk Islam, hal ini pun tidak terwujud. “Biarlah, yang penting saya masih mendapatkan sesuatu yang bisa saya jual nantinya untuk kelangsungan hidup saya kelak. Semoga saja hal ini dapat bermanfaat bagi saya.”, harap saya dalam hati.
Beberapa hari setelah melakukan check-up saya diharuskan untuk melakukan hal yang sama pada minggu depan. Kondisi saya yang belum sepenuhnya terbebas dari penyakit paru-paru yang saya derita mengakibatkan saya rentan terserang penyakit yang sama. Oleh sebab itu, saya harus sering melakukan kontrol ke dokter guna kesembuhan saya. Tepat pada waktu saya merasakan sakit pada dada saya, ketika itu pula saya memutuskan untuk berobat ke dokter. Malangnya, saya tidak memiliki uang untuk berobat, sehingga saya tidak dapat berobat. Biarpun pak haji mau memberikan uang kepada saya untuk berobat karena telah menganggap saya sebagai anak angkat, namun saya merasa segan bila selalu merepotkan beliau. Kondisi yang membuat saya terjepit inilah kemudian membuat saya memberanikan diri untuk meminta uang kepada ayah sebesar lima ratus ribu rupiah.
Pembaca mungkin bertanya-tanya apa jawaban ayah saya ketika saya meminta uang untuk berobat, jangankan memberi uang tersebut saya malah diusir dari rumah dan tidak diperbolehkan lagi menginjakkan kaki di rumah itu. Saya pikir perkataan ayah yang tidak mau menganggap saya sebagai anak hanya main-main, tapi teranyata itu sungguhan. Sungguh ini benar-benar tidak berperi kemanusiaan. Binatang saja ketika melihat anaknya sakit pasti akan berupaya menolong, akan tetapi ayah saya malah mengusir saya. Saya merasa seperti sudah tidak diinginkan lagi di dunia ini.
Ayah ternyata lebih sayang harta ketimbang anaknya sendiri. Ia sanggup membeli mobil baru yang berharga ratusan juta rupiah tanpa kredit, sementara uang lima ratus ribu rupiah untuk berobat anaknya tidak pernah ia berikan. Apalagi yang bisa saya katakan kepada pembaca melihat sikap ayah saya yang seperti ini kepada saya? Pasrah dan tawakal adalah satu-satunya jalan yang bisa menenangkan saya ketika itu.
Saya benar-benar merasakan kesusahan ketika masuk Islam. Bukan mau mengungkit atau yang lain, tapi yang jelas Allah benar-benar menguji saya dengan cobaan yang bagi saya sangat berat ini. Dulu saya adalah pribadi yang dimanja, kemanapun pergi selalu ada kendaraan yang menemani, ada motor, mobil, lap top dan lainnya. Bertahun-tahun saya merasakan nikmat yang seperti itu, namun sekarang setelah saya memeluk Islam justru malah sebaliknya. “Sekarang sangat susah, bahkan uang seratus ribu yang dahulu saya anggap nilainya sama seperti sepuluh ribu kini sangat sulit saya dapatkan. Jangankan seratus ribu, sepuluh ribu rupiah pun sulit. Lalu bagaimana saya dapat menjalankan hidup ini bila saya terus-terusan terpuruk ini?”, tak terasa air mata saya mulai menetes ketika menuliskan ini.
Hidup saya dulu memang bisa dibilang lebih dari kata cukup. Ayah dan kakak-kakak saya tidak jarang mereka memberi uang kepada saya masing masing dua juta per bulan. Apabila mereka tidak memberi, tidak jarang saya mengancam dengan ancaman tidak akan sekolah, atau bahkan akan bunuh diri. Namun sekarang sangat terasa bedanya, bahwa perbuatan boros dan royal yang pernah saya lakukan tidak memberikan hasil justru ketika saya tak lagi mampu untuk berbuat demikian, tak ada sedikitpun tabungan yang ada pada diri saya agar saya dapat hidup lebih layak.
Dahulu saya hanya mengartikan segala sesuatu itu hanyalah uang. Agama tidak lain adalah sarana untuk mendapatkan uang. Aktifitas-aktifitas lain yang saya lakukan tujuannya adalah untuk mendapatkan uang. Oleh sebab itu, tidak ada yang lain yang dibutuhkan oleh manusia kecuali uang, uang, dan uang. Dari sinilah saya berpikir bahwa; “Untuk apa manusia bekerja selain untuk uang. Mereka butuh makan dan minum juga membelinya dengan menggunakan uang. Dengan uang saya bisa membeli segalanya dan berbuat apa saja.”, pikir saya ketika itu.
Sekarang, saya menyadari bahwa apa yang saya pikirkan saat itu adalah salah. Saya merasa keluarga adalah yang saya butuhkan saat ini dari pada uang. Ini melebihi segalanya yang saya inginkan saat ini. Meski mereka belum memeluk Islam, tapi saya sangat merindukan mereka. “Papa, mama, adit rindu kalian.”, dalam hatiku sambil menangis.
Sampai saat ini, saya masih terpinggirkan dari keluarga. Saya hanya bisa berharap kepada Allah, suatu saat nanti Allah akan memberikan hidayah kepada mereka semua, sehingga mereka dapat merasakan indahnya berislam sebagaimana yang saya rasakan saat ini. Saya sebagai anak dan juga sebagai seorang adik tidak ingin keluarga saya terkena adzab yang sangat pedih dari Allah Swt. Oleh sebab itu, saya berkewajiban untuk menyelamatkan mereka sebelum mereka nantinya menderita di akhirat kelak. Semoga saja saya bisa melakukannya, karenanya saya memohon doa kepada pembaca agar dimudahkan oleh Allah segala urusan yang nantinya dapat membawa keluarga kepada pintu hidayah yang sangat mulia ini.
Walaupun semua keluarga masih belum bisa menerima Islam sebagai agama mereka, paling tidak mereka dapat menerima saya sebagai salah seorang anggota keluarga mereka lagi seperti yang dulu pernah ada. Saya juga berjanji pada diri saya sendiri bahwa saya keluar dari rumah dan meninggalkan mereka, nantinya akan kembali dalam keadaan bersih dan insya Allah sukses dalam karir meski saya tidak pernah tahu kapan saya akan sukses, namun saya yakin dengan sebenar-benarnya. Amin.
Singkat cerita, karena keinginan saya yang kuat untuk mempelajari Islam, saya pun memutuskan untuk tinggal di pesantren. Alhamdulillah, sekarang saya tinggal di Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan An-Naba’ Center yang diasuh oleh ustaz H. Syamsul Arifin Nababan, seorang mantan misionaris Kristen yang kini getol berdakwah untuk Islam. Saya mengetahui pesantren ini dari seorang muallaf yang bernama Buya Muhammad Yusuf, seorang Tiong Hoa dari Sumatera Utara dan aktif dalam kegiatan-kegiatan dakwah. Buya-lah yang memberi tahu saya dan pak haji bahwa ada pesantren khusus muallaf di daerah Sawah Baru, namanya Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan An-Naba’ Center Indonesia.
Ketika itu Buya membujuk saya agar mau menuntut ilmu di pesantren An-Naba’. Beliau membujuk saya dengan kata-kata yang manis, dan tak jarang memberikan janji-janji kepada saya. Beliau awalnya bilang bahwa beliau adalah teman baik ustadz Syamsul Arifin Nababan. Nanti kalau saya masuk pesantren akan diberi uang saku bulanan kepada saya, diberi lap top dan kendaraan. Saya ketika itu berpikir karena saya butuh, maka saya terima tawaran beliau untuk tinggal di pesantren. Bahkan beliau berkata kalau saya mau kuliah nanti akan dikuliahkan oleh ustaz Nababan. Akan tetapi, saya tidak terlalu berharap untuk kuliah ketika itu, saya hanya berpikiran apa yang beliau katakan adalah sebuah peluang yang harus saya ambil.
Akhirnya, saya meminta alamat pesantren An-Naba’ dan kemudian datang bersama pak haji. Setibanya di pesantren kami disambut oleh ustadz Nababan yang kebetulan sedang ada di pesantren. Saya pun menceritakan bahwa saya mendapatkan informasi mengenai pesantren ini dari seorang mualaf yang bernama Buya Muhammad Yusuf. Saya menceritakan bahwa beliau adalah teman baik ustaz Nababan dan juga berasal dari Sumatera Utara. Akan tetapi, ketika saya konfirmasi kepada Ustadz Nababan ternyata beliau tidak kenal dengan Buya Muhammad Yusuf. Namun, saya tetap berpikiran positif, mungkin ini awal yang baik bagi saya untuk belajar.
Pesantren An-Naba’ Center inilah yang mengajarkan banyak hal kepada saya. Mulai dari salat dan membaca Aquran yang benar, hingga seputar perbandingan agama antara Islam dengan Kristen. Dari situlah saya mengetahui bahwa ternyata perbedaan antara Islam dengan Kristen sangatlah banyak. Dalam Kristen beribadah hanya satu minggu sekali, pada hari minggu saja, sedangkan dalam Islam ibadah itu dilakukan dari mulai mata terbuka sampai dengan tidur kembali.
Puasa yang dilakukan dalam Kristen hanya dua hari dalam satu tahun yaitu pada saat paskah dan pante kosta, sedangkan dalam Islam puasa dilakukan ada berbagai macam, mulai dari puasa sunnah senin-kamis, puasa daud, puasa muharam, puasa arafah, hingga puasa Ramadhan yang dilakukan sebulan penuh.
Pada ajaran Kristen boleh memakan makanan apa saja, termasuk daging babi, sedangkan dalam Islam ada makanan dan minuman tertentu yang diharamkan. Padahal, pada beberapa ayat dalam Al-Kitab juga melarang memakan daging babi, namun mungkin karena enak atau bagaimana, mereka tetap memakan daging tersebut.
Selain itu, di agama lama saya dulu saya bebas melakukan apa saja karena semakin banyak dosa dan kemaksiatan, maka rahmat Tuhan akan semakin banyak pula.
Kalau secara subjektif tentu saya merasa nyaman di agama saya yang lama karena keluarga saya masih menjamin semua fasilitas yang diberikan untuk saya, sedangkan ketika saya memutuskan untuk memilih Islam sebagai agama saya semua fasilitas yang diberikan kini ditarik kembali, bahkan saya terusir dari keluarga.
Dulu ketika saya mendengar suara adzan saya katain dan ledek dengan berkata; “Panaaaaas, panaaaas, stoop jangan di adzananin lagi.”, kata saya. Akan tetapi, sekarang saya seperti menjilat ludah saya sendiri, dengan memeluk Islam saya bisa adzan, bisa salat, bisa puasa, berdzikir dan mengaji.
Inilah sebuah hidayah yang ditunjukkan Allah kepada saya, semoga saja cerita saya ini dapat bermanfaat bagi pembaca agar kita sama-sama selalu berada pada jalan lurus yang diridhai oleh Allah Swt., amin yaa rabbal ‘alamin.
Sumber: Pesantren Mualaf Annaba Center