REPUBLIKA.CO.ID, CIPUTAT -- Tak sadar saya sempat menitihkan air mata ketika itu. Kalaulah boleh diibaratkan, beliau seperti air yang menyirami pohon kecil yang sudah kering bahkan sebentar lagi akan mati. Itulah saya. Rasa duka telah ditinggal oleh beliau pun saya tuangkan dalam sebuah doa. Meski saya sudah tahu bahwa saya masih berstatus sebagai seorang penganut Kristen ketika itu, namun saya tetap mendoakan beliau. Semoga saja Allah Swt., memberikan tempat yang terbaik baginya di syurga Allah, amin yaa rabbal ‘alamin.
Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. (Q.S. At-Taubah [9]: 113)
Hal yang membuat saya begitu prihatin adalah mendengar kabar bahwa istri beliau dengan segala keterbatasannya membesarkan anak-anak yang beliau tinggalkan sendirian tanpa mau menikah lagi. Ke-istiqomah-an yang istri almarhum ustadz ini sungguh membuat hati saya merasa kagum. Kesusahan yang menimpa beliau tidak serta merta menjadikannya kufur dari nikmat-nikmat yang Allah berikan, sebaliknya mereka sangat sabar dan tabah menjalani kehidupan ini.
Melihat kondisi inilah saya membulatkan tekad dalam hati. Saya bernazar, insya Allah, nantinya kalau saya mendapatkan pekerjaan dan memiliki rezeki yang cukup, saya akan membantu mereka sebagai tanda balas budi kepada mereka sekeluarga karena berkat bantuan dan pertolongan Allah melalui ustadz tersebutlah saya dapat sembuh seperti saat ini. Semoga saja saya dapat melakukannya. Amin.
Hampir dua tahun berselang saya sembuh dari penyakit. Perasaan aneh yang pernah melanda diri saya kembali muncul. Ini berbeda dari yang sebelumnya, setelah sebelumnya saya tidak menghiraukan apa yang saya rasakan ini, saya merasakannya lagi dan ini sangat berbeda.
Mungkin karena masih melakukan anjuran almarhum ustadz untuk selalu berdzikir dengan mengucap kalimat la ilaha ila Allah. Hal inilah yang membuat saya merasa perlu untuk mengikuti apa yang saya rasakan karena semakin saya menolak perasaan itu, maka semakin saya tidak kuat untuk menahanya.
Kalau boleh saya menggambarkan apa yang terjadi pada diri saya ketika itu seperti seekor sapi yang telah ditusuk hidungnya dan kemudian ditarik. Semakin saya mencoba untuk melepaskan diri dari tarikan itu, maka tubuh saya akan merasa kesakitan.
Begitulah kira-kira gambarannya. Semakin saya ingin menolak Islam, saya semakin diarahkan kepada Islam hingga saya tak kuasa menolaknya karena bacaan-bacaan yang pernah saya baca ketika terapi dengan almarhum ustadz senantiasa muncul dalam benak saya.
Rasa tak kuasa membendung dorongan batin untuk memeluk agama Islam ini pun akhirnya aku buka. Bak sebuah bendungan yang menghadang aliran air yang sangat deras kemudian terbuka, keinginan untuk beragama Islam akhirnya muncul dalam diri saya. Pada waktu itu, tepat pada tanggal 7 Maret 2014 yang lalu, usai melakukan salat Jumat saya disayahadatkan.
Di situlah saya mempertaruhkan segalanya demi Islam. Keluarga, kasih sayang orang-orang terdekat, hingga fasilitas yang selama ini saya dapatkan dari orang tua dan kakak-kakak saya, saya pertaruhkan di situ. Namun, saya sudah yakin dengan Islam dan tidak akan bergeming sedikit pun. Ternyata benar apa yang dikatakan Allah dalam firmannya:
"Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya." (al-Kahf [18]: 17)
Usai melakukan syahadat, saya diberi uang sejumlah lima ratus ribu rupiah oleh ustaz yang mengislamkan saya untuk sunat. Alhamdulillah, pertama kali mengucapkan kalimat syahadat saya sudah mendapatkan perhatian dari sesama Muslim. Saya sangat bersyukur ketika itu, hingga usai proses syahadat dilakukan, saya pun langsung menuju ke rumah khitan tempat yang akan mengkhitankan saya.
Ada sebuah kejadian yang lucu ketika itu. Saat saya akan dikhitan, dokter yang akan mengkhitankan saya berkata kepada saya; “Kok sudah tua baru disunat? Biasanya sih agak alot.”, katanya sambil tersenyum. Saya merasa aneh ketika itu karena hal ini memang tidak ada dalam ajaran Kristen. Sebaliknya, umat Kristiani malah tidak dibolehkan untuk khitan, sehingga kami semua tidak melakukannya.
Sesungguhnya, aku, Paulus, berkata kepadamu: jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu. (Gal 5:2)
Kalau seorang dipanggil dalam keadaan bersunat, janganlah ia berusaha meniadakan tanda-tanda sunat itu. Dan kalau seorang dipanggil dalam keadaan tidak bersunat, janganlah ia mau bersunat. Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak penting. Yang penting ialah mentaati hukum-hukum Allah. (1 Kor 7:18-19)
“Ya..sudahlah, karena memang dokter tersebut awalnya tidak mengetahui bahwa aku baru saja menjadi muallaf.”, kataku dalam hati.
Untungnya ketika saya disunat, teknologi sudah semakin canggih. Dengan munggunakan laser, proses khitan pun semakin mudah. Tidak khawatir kulit khatan saya sudah tua atau belum, karena dengan menggunakan laser pemotongan akan semakin cepat.
Hanya menunggu dua minggu saja sudah kering, meski awalnya sakit dan gatal karena pada kepercayaan penduduk sekitar ketika orang disunat agar menggunakan keong racun supaya cepat sembuh. Malangnya, yang saya dapatkan bukan semakin sembuh, malahan semakin gatal-gatal hingga ingin sekali rasanya saya menggaruknya setiap waktu.
Berangkat dari proses khitan yang saya lakukan inilah kemudian keluarga saya mengetahui bahwa saya telah memeluk Islam. Ayah adalah orang pertama yang mengetahui bahwa saya telah memeluk Islam. Ia tahu dari salah seorang karyawan di kantornya yang bekerja sebagai auditor. Kata auditor tersebut; “Si adit sudah masuk Islam itu ko..” Ayah saya pun kaget ketika itu; “Ha…, masuk Islam?” katanya dengan kaget.
Langsung saja ayah saya mencari saya ke daerah Kampung Pakis yang tidak jauh dari rumah kami. Kebetulan setelah saya memutuskan untuk memeluk Islam saya mulai tinggal dengan pak haji yang tinggal di Kampung Pakis itu. Ayah memang tidak menaruh curiga karena memang ketika saya masih sehat dulu terkadang sering menginap di rumah teman, sehingga tidak menaruh kecurigaan sedikitpun.
Pasca mengetahui saya telah memeluk Islam dari salah seorang auditor di kantornya, ayah terus mencari saya dan kemudian mengetahui bahwa saya sedang berada di Kampung Pakis. Di Kampung Pakis itulah saya tinggal bersama seorang yang sangat baik yang bernama pak H. An-Awaluddin. Beliau sangat baik hati hingga menganggap saya seperti anak kandungnya sendiri, sejak saya masuk Islam.
Kebaikan beliau sangat mulia bagi saya, beliau berkata kepada saya ketika itu; “Adit, anggaplah kami seperti keluarga dan orang tua kamu sendiri.”, kata beliau. Beliau pun memberikan berbagai fasilitas kepada saya, seperti handphone, mobil, dan motor beliau boleh saya pakai. Padahal, saya adalah orang yang baru dikenal oleh beliau, meski rumah ayah dengan rumah beliau berjarak tidak terlalu jauh, hanya berjarak empat gang saja.
Umat Muslim di sekitar rumah saya pun ketika itu sangat mendukung. Mereka mendukung dengan bertanya tentang kondisi saya pasca berislam. Tidak sedikit di antara mereka yang memberikan bantuan berupa baju koko, peci, sepatu, dan sejumlah uang kepada saya. Akan tetapi, juga ada di antara mereka yang iri kepada saya, apalagi ketika saya diangkat menjadi anak oleh keluarga pak haji.
Mereka berpikiran bahwa saya masuk Islam itu karena diberi sesuatu oleh pak haji. Kebetulah pak haji adalah seorang pensiunan PTPN yang tergolong mampu, sehingga mereka berpemikiran bahwa pasti karena pak haji orang kaya makanya saya mau masuk Islam dan kemudian menjadi anak angkat beliau, padahal tidak demikian.
Tepat pada dua bulan setelah tulisan ini saya tulis, saya bersama pak haji mengikuti sebuah seminar yang kami ikuti di daerah Cirendeu. Usai mengikuti seminar tersebut kami melakukan salat ashar di Mesjid Agung Ciputat. Tanpa kami sadari ternyata ayah saya memerintahkan salah seorang auditor dari kantornya untuk membuntuti kami sejak dari rumah pak haji.
Rupa-rupanya ketika kami mengendarai motor usai melakukan salat di mesjid tiba-tiba saja ayah saya menghalangi jalan kami dengan mobilnya. Hampir saja kami terjatuh dan masuk ke selokan ketika itu, namun Alhamdulillah, Allah masih memberikan perlindungan kepada kami berdua.
Setelah memberhentikan mobilnya, ayah saya pun kemudian keluar dan mendatangi kami. Dia berkata; “Keluar dari pesantren, gua tau loe tinggal di pesantren. Kalau nggak, keluarga pak haji bakal kenapa-kenapa di tangan gua.”, katanya, meski beliau tidak mengetahui saya tinggal di pesantre An-Naba’ Center di Sawah Baru, beliau hanya tahu kalau saya tinggal di pesantren di dekat Kampung Sawah.
Mendengar perkataan ayah saya itu tentu saya juga naik emosi dan kemudian menggertak beliau; “Papa apa-apaan ini? Saya masuk Islam juga tidak dipaksa oleh orang, nggak ada yang ngancem-ngancem saya biar masuk Islam. Ini kemauan dari diri saya, saya yakin pada Allah saya! Allah saya aja bisa nyembuhin saya dari penyakit, apalagi Allah saya bisa menolong saya dari berbagai hal.”, kata saya dengan tegas.
Apa yang saya sampaikan itu ternyata membuat ayah semakin naik pitam, hingga ia menunjuk wajah pak haji. “Gara-gara loe anak gua jadi kayak gini.”, katanya kepada pak haji. Belum puas ayah berkata demikian kepada pak haji, ia kemudian memaki-maki saya; “Emang enak loe hidup di Islam, miskin loe, melarat!” katanya dengan lantang.
Sungguh perkataan ayah saat itu membuat saya semakin emosi, hingga saya melontarkan perkataan yang tidak seharusnya saya katakana; “Papa kalau ngomong kayak gitu lagi gua bunuh loe pa!”, kata saya saat hilang kendali. Meski kemudian saya menyesal mengapa saya bisa berkata demikian kepada ayah kandung saya sendiri.
Tidak lama setelah kemarahan saya itu, datanglah seorang ibu-ibu yang menolong saya dan pak haji. Namanya ibu Linda, kebetulan saya berkenalan dengan beliau pada acara seminar yang saya ikuti di Cirendeu. Melihat saya dalam kesulitan ibu tersebut keluar dari mobilnya dan kemudian menghampiri kami. Melihat posisi saya dan pak haji yang terpojok, akhirnya ibu tersebut berkata; “Bapak kalau macem-macem saya teriak ni!”, kata sang ibu. Akhirnya, karena ayah saya takut nantinya akan ada masyarakat lain yang datang untuk membela saya, beliau pun pergi meninggalkan kami.
Alhamdulillah, pada saat itu saya lega karena ayah telah pergi meninggalkan kami. Namun, saya merasa sedikit ‘sebel’ dengan orang-orang yang ada di sekeliling kami. Tidak ada satu pun dari mereka yang mau menolong. Padahal, saya tahu pasti tidak hanya orang Kristen yang lewat di jalan itu, tetapi pasti juga ada orang Muslim.
Namun, mengapa mereka tidak mau membantu kami yang hampir saja terjatuh dan dapat berakibat luka parah? Katanya umat Muslim bersaudara, tapi kenapa mereka tidak mau membantu? Untungnya pak haji ketika itu berpikiran dewasa, beliau katakan; “Mungkin mereka tidak mau ikut campur dengan urusan yang sedang kita hadapi.”, kata beliau.
Sejak kejadian itu, keluarga saya tidak lagi memperdulikan saya. Mereka menelantarkan saya begitu saja. Seperti sebuah barang usang yang tidak ada gunanya lagi, saya dibuang begitu saja. Bukti saya telah dibuang adalah ketika saya melakukan check up ke rumah sakit. Ayah saya datang menemui saya di rumah sakit ketika itu.
Di sanalah ia memberikan surat tanah beserta akta jual beli tanah kepada saya dengan mengatakan bahwa saya bukanlah anaknya lagi. Oleh sebab itu, hak saya sebagai anak juga telah putus, kecuali tanah yang diberikan olehnya itu. Ini adalah sebuah ujian terberat dalam hidup saya, akan tetapi saya sangat menyadari bahwa ini semua bagian dari janji Allah SWT. Bersambung..
Sumber: Pesantren Mualaf Annaba Center