REPUBLIKA.CO.ID, CIPUTAT -- Selang dua hari kemudian, ustadz tersebut pun datang bersama teman saya. Mereka berdua mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Akan tetapi, karena kami sekeluarga bukanlah seorang Muslim, maka kami tidak menjawab salam yang mereka ucapkan.
Akhirnya, ayah keluar dan membukakan pintu untuk mereka serta kemudian mempersilahkan masuk ke dalam rumah. Ayah memberikan sedikit makanan dan minuman kemasan kepada mereka karena ayah tahu mereka tidak akan memakan makanan yang bukan dari kemasan sebab khawatir mengandung babi dan makanan yang diharamkan dalam agama Islam.
Tak lama setelah berbincang dengan ayah, sang ustadz masuk ke dalam kamar dan kemudian melihat kondisi saya yang terbaring lemah di tempat tidur. Ustadz tersebut lalu berkata kepada saya; “Martin, antum mau sembuh?”, katanya.
Saya pun menjawab pertanyaan ustadz tersebut; “Maulah ustadz, siapa sih yang tidak mau sembuh dari sakit.”, kata saya. Kemudian ustadz menjawab; “Kalau kamu mau sembuh kamu harus ikutin saran ustadz.” Dengan penasaran saya menjawab; “ Apa itu ustadz?” Ustadz menjawab lagi: “Kalau kamu mau sembuh, kamu perbanyakin salat sunnah, witir dan terutama dzikir.”, katanya demikian.
Mendengar perkataan yang disampaikan oleh ustadz yang mengobati saya itu saya langsung kaget. Lalu saya berkata kepada beliau; “Ustadz, saya kan agamanya Kristen, mana mungkin saya melakukan hal itu. Sama saja saya menghianati agama saya dengan Tuhan Yesyus.”, kata saya kepada ustaz.
Ustaz berkata lagi; “Ya kalau kamu mau sembuh kamu ikutin anjuran saya.”, katanya lagi dengan tegas. Karena merasa terpojok saya mengulang perkataan saya lagi; “Apa bisa ustadz, saya kan agamanya Kristen, masak ngelakuin kayak gitu? Apa bisa?”, kata saya. Kembali beliau menegaskan; “Dicoba dulu segala sesuatunya baru tahu.”, kata ustadz lagi. Akhirnya, saya pun melakukan apa yang ustadz tersebut katakan tanpa mengucap kalimat syahadat saya mengikuti saja apa yang dikatakan olehnya.
Awalnya orang tua saya melarang saya untuk melakukan demikian, namun karena melihat saya sudah sangat lemah ketika itu, kemudian ayah mengizinkan saya untuk melakukan apa yang ustadz tersebut katakan. Apalagi ketika itu ayah berpikiran tidak baik atas ustadz tersebut karena ia tahu bahwa dengan mengucapkan kalimat yang diperintahkan oleh ustadz tersebut, maka sebenarnya saya sudah memeluk Islam walaupun hanya dalam mulut tanpa meyakininya.
Ayah juga berpikiran, sebenarnya maksud ustadz ini apa hingga menyuruh saya melakukan hal demikian. Ya…lagi-lagi karena rasa sayangnya kepada saya, akhirnya saya dibolehkan melakukannya. “Ya..sudahlah, demi kesembuhan si Martin, ya udah lakuin.”, kata beliau.
Ustadz tersebut pun akhirnya menerapi saya dengan bacaan-bacaan dzikir dan salat sunnah. Bacaan dzikir yang diajarkan oleh beliau adalah dzikir dengan kalimat la ilaha ila Allah. Dzikir dengan kalimat ini pula yang tidak dapat saya lupakan hingga saat ini. Berawal dari situlah kemudian saya mengenal beberapa bacaan yang dibaca oleh umat Muslim ketika melakukan salat dan dzikir sesudahnya. Terapi pun saya lakukan selama tiga bulan dengan datang ke rumah beliau setiap dua atau tiga hari sekali.
Alhamdulillah, terapi yang saya jalani selama tiga bulan lebih itu ternyata membuahkan hasil yang positif. Saya kemudian diperiksakan oleh orang tua saya ke rumah sakit untuk di-rontgen, tepatnya di rumah sakit Redipa di kawasan Pancoran. Kebetulan dokter yang memeriksa saya masih memiliki hubungan keluarga dengan ibu yang membuka praktik di situ. Hasilnya, subhanallah, dari sebelumnya ketika pemeriksaan pertama mengalami sakit paru-paru, yang mana paru-paru saya berlubang dan ada flek, alhamdulillah, sekarang sudah sembuh, bahkan tidak ditemukan flek lagi.
Entah bagaimana cara kerja terapi tersebut. Namun, inilah kenyataan yang terjadi. Hal ini tentunya di luar dari akal sehat manusia, dan ilmu kedokteran modern pun saya rasa sulit untuk menjelaskan ini. Bisa pembaca bayangkan bagaimana sakit yang saya alami. Jangankan untuk berdiri kemudian berjalan layaknya orang yang normal, untuk melangkahkan kaki ke kamar mandi saja yang jaraknya hanya dua jengkal rasanya sangat sulit. Padahal, kamar mandi tersebut berada langsung di dalam kamar tidur saya, namun tetap saja sulit bagi saya. Sungguhlah sebuah keajaiban hingga saya dapat sembuh seperti sekarang.
Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah melalui ustadz yang mengobati saya ini, saya sembuh. Meski belum sembuh seratus persen, setidaknya saya dapat sembuh dari penyakit. Berbeda dengan perkataan dokter yang sebelumnya memvonis usia saya tidak akan lama lagi. Ini tentunya memberikan efek tersendiri bagi saya. Saya merasa ada yang lain yang terjadi pada diri saya. Selain karena sembuh berkat salat, dzikir, kemudian saya menambahnya lagi dengan doa-doa atas anjuran ustadz, saya juga merasa bahwa Allah seperti menunjukkan jalan lain kepada saya.
Tak lama setelah kesembuhan saya ketika itu, saya merasa ada sesuatu yang menarik saya untuk memeluk Islam. Ayah memang sejak awal kedatangan ustadz tersebut sudah curiga, jangan-jangan dia akan memurtadkan saya dari agama Protestan. Namun, karena kesibukan ayah selain sebagai workship leader di gereja, ia juga bekerja sebagai karyawan tetap di Bank Mandiri, saya pun luput dari pengawasan ayah.
Perasaan aneh yang saya alami ketika saya sembuh dari sakit beberapa bulan setelah pemberitahuan melalui rontgen, tidak langsung saya tanggapi begitu saja. Dalam benak saya ketika itu, mungkin perasaan aneh yang saya alami hanya sekedar perasaan saja tanpa ada sesuatu yang perlu ditindaklanjuti. Saya hanya berpikir bagaimana dapat membalas kebaikan yang ustadz tersebut berikan kepada saya agar tidak berhutang budi kepada beliau.
Keinginan untuk membalas budi baik kepada sang ustadz ketika itu sangatlah kuat. Rasa gembira karena sudah terbebas dari vonis dokter sungguh tak terbayangkan pada saat itu. Saya sangat bersyukur kepada Allah karena telah memberikan kesembuhan ini. Beberapa minggu setelah kesembuhan, saya pun mencari-cari ustadz itu lagi, akan tetapi tidak pernah saya temukan. Alhasil, saya mendengar kabar bahwa beliau telah lebih dahulu dipanggil oleh Allah Swt. Sedih rasanya, melihat orang yang sangat berjasa kepada kita lebih dahulu meninggalkan kita. Apalagi belum sempat untuk membalas budi baik yang beliau lakukan.