REPUBLIKA.CO.ID,CIPUTAT -- Nama saya Ahmad Hidayatullah atau yang lebih akrab dipanggil Dayat ketika saya memeluk Islam. Sebelum Islam, kedua orang tua saya menamai saya dengan nama Martinus Rizki Aditya, panggilan saya Martin ketika itu.
Saya lahir dari keluarga yang menganut agama Kristen Protestan. Ayah saya adalah salah seorang yang taat dalam beragama, apalagi di gereja beliau dipercaya sebagai seorang workship leader, sedangkan ibu adalah ketua perkumpulan ibu-ibu gereja tempat kami tinggal yang dipercaya juga untuk memegang keuangan gereja.
Saya sendiri dipercaya untuk memainkan keyboard (organ tunggal) dari mulai kebaktian anak-anak sampai pada kebaktian umum. Ayah saya asli penduduk Tangerang, sedangkan ibu asli penduduk Bogor. Kami kemudian bertempat tinggal di daerah Pamulang karena ayah saya bekerja di kawasan tersebut.
Lulus dari sekolah dasar saya melanjutkan pendidikan ke SLTPN 104 Mampang Parampatan. Di sekolah tersebutlah saya kemudian menimba ilmu bersama teman-teman yang lain. Ini kemudian berlanjut sampai saya lulus dari sekolah itu dan melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas sebagai jenjang yang menentukan bagi saya guna melanjutkan ke perguruan tinggi.
Usai lulus dari sekolah lanjutan tingkat pertama tersebutlah saya kemudian meneruskan pendidikan ke sekolah menengah atas yang berada di Pamulang II, namanya SMK Warsito. Ini saya jalani selama tiga tahun layaknya anak pada umumnya yang menghabiskan waktu untuk bersekolah di SMA.
Pada jenjang pendidikan menengah atas inilah saya mulai menjadi pribadi yang tidak terkontrol. Bila ketika berada di bangku sekolah dasar dan menengah pertama perhatian orang tua sangat kuat terhadap saya, pada tingkat SMA perhatian mereka mulai berkurang.
Ayah semakin sibuk dengan pekerjaannya, ibu juga sibuk dengan kegiatan-kegiatannya, sedangkan kakak-kakak saya semuanya hanya sibuk dengan usaha mereka masing-masing. Di situlah saya mulai menjadi pribadi yang tidak terkontrol.
Usia yang labil karena berada pada proses transisi antara anak-anak menuju dewasa, dalam istilah anak sekarang dikenal dengan ABG (Anak Baru Gede), inilah yang membuat saya rentan dipengaruhi oleh lingkungan sekitar.
Malangnya, lingkungan tempat saya bersekolah tidak semuanya baik. Kebanyakan dari teman-teman yang satu kelas dengan saya menjadi seseorang yang nakal. Tidak jarang mereka bolos sekolah, atau keluar pada jam pelajaran hanya karena malas dan duduk-duduk di kantin sekolah saja. Yang lebih parahnya lagi, saya ketika itu terikut dalam kegiatan-kegiatan pergaulan bebas bersama teman-teman saya.
Merokok dan minum-minuman keras, hingga pergi ke diskotik. Sungguh saya pada saat duduk di bangku sekolah menengah atas ini menjadi pribadi yang sulit diatur. Mungkin karena kurangnya perhatian dari orang tua, sehingga menjadikan saya seperti ini. Bahkan, tak jarang saya melawan apa yang mereka perintahkan terhadap saya.
Perbuatan-perbuatan maksiat dan tidak hormat itu saya jalani selama lebih kurang dua tahun, khususnya ketika saya duduk di bangku kelas dua dan tiga sekolah menengah atas. Meski kami sekeluarga aktif dalam berbagai kegiatan gereja, namun tidak memberikan efek yang berarti bagi saya. Ini disebabkan dalam agama saya dulu tidak ada larangan untuk makan atau meminum sesuatu yang diharamkan dalam Islam, semuanya halal.
Saat lulus dari sekolah menegah atas tersebut baru kemudian intensitas saya melakukan perbuatan yang sama sedikit berkurang karena memang saya sudah tidak lagi bergaul dengan teman-teman saya yang melakukan hal-hal demikian. Apalagi ketika mulai masuk ke perguruan tinggi, saya mendapat teman-teman baru yang lebih baik dari ketika berada di SMK dulu.
Universitas Pamulang yang terletak tidak jauh dari rumah adalah universitas yang saya pilih ketika itu. Fokus terhadap jurusan pemasaran menjadikan saya berkeinginan untuk menjadi seorang pebisnis yang handal dalam memasarkan produk. Akan tetapi, hal ini ternyata tidak berjalan mulus.
Saat duduk di bangku kuliah, tepatnya semester empat, saya menderita sakit yang cukup parah hingga berakibat tidak masuk kuliah selama berbulan-bulan pada akhir tahun 2011 hingga sekarang putus kuliah karena berpindah agama menjadi seorang penganut Islam.
Putus kuliah bukan dikarenakan sakit, melainkan karena saya berpindah agama, sehingga berakibat dikucilkan dari keluarga dan kemudian di diusir, bahkan tidak lagi diakui sebagai seorang anak oleh ayah dan juga oleh kakak-kakak saya. Kisah ini akan saya lanjutkan setelah menceritakan bagaimana saya bisa sembuh dari penyakit keras yang saya alami ketika itu. Bersambung..
Adalah sebuah teguran dari Allah yang saya rasakan. Saya menderita sakit akibat dari perbuatan ketika masih sekolah dulu. Saya sadar bahwa ini adalah sebuah teguran yang diberikan oleh Allah karena kenakalan saya yang mana Allah menimpakan sakit paru-paru kepada saya. Kata dokter paru-paru saya berlubang dan berflek. Ini dikarenakan saat sekolah dulu saya merokok dan minum-minuman keras, sehingga berdampak pada kesehatan.
Penyakit yang saya derita ini memang cukup mengkhawatirkan, sehingga orang tua saya bekerja keras agar dapat menyembuhkan saya. Upaya yang dilakukan dengan membawa ke dokter mulai dari RSCM, Rumah Sakit Pondok Indah, hingga Singapore Hospital sudah dilakukan. Selain itu juga telah membawa saya ke suhu maupun since, pengobatan tradisional cina, namun tetap masih belum membuahkan hasil. Bahkan oleh dokter saya divonis tidak akan hidup lebih lama lagi, hanya dua atau tiga bulan saja.
Upaya medis dan pengobatan alternatif sudah ditempuh oleh keluarga, namun masih belum membuahkan hasil, akhirnya saya dibawa oleh keluarga saya ke gereja di dekat tempat tinggal kami. Di sana saya didoakan oleh jemaat gereja supaya lekas sembuh, bahkan saya juga dinyanyikan lagu-lagu gereja oleh mereka.
Seiring berjalannya waktu keluarga saya terus mengupayakan yang terbaik, khususnya untuk kesembuhan saya. Hingga suatu ketika teman kuliah saya datang menjenguk dan memberitahu bahwa ada sebuah pengobatan yang mungkin bisa menyembuhkan saya. Meski ia berbeda keyakinan dengan saya, namun atas kebaikannya itu ia memberikan informasi yang sangat saya butuhkan.
Kemudian ia memperkenalkan kepada saya dan keluarga seorang ustadz, namanya ustaz Asep Syarifuddin, seorang guru di SMP Al-Amanah BSD. Beliau bukan seorang dukun, paranormal, maupun dokter, melainkan hanya seorang ustadz yang menurut pengakuannya ustadz tersebut sudah banyak menyembuhkan orang dari berbagai macam penyakit karena diberikan kelebihan oleh Allah SWT.
Keluarga ketika itu menyambut baik niat teman saya untuk membantu. Meski berbeda keyakinan, namun demi kesembuhan saya, mereka pun bersedia dan mengizinkan ustaz tersebut untuk datang ke rumah dan melakukan pengobatan terhadap diri saya.
Sumber: Pesantren Mualaf An-Naba Center