REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Puasa Ramadhan selalu diakhiri dengan perayaan Idul Fitri. Secara etimologi, Idul Fitri terdiri dari dua kata. Pertama, ‘id. Dalam Lisaanul Arab, Ibnu Mandzur menyatakan, kata ini diambil dari kata ‘ada, bermakna “kembali”. Ini menunjukkan bahwa Idul Fitri selalu berulang dan kembali datang setiap tahun. Ada juga yang berpendapat diambil dari kata ‘adah yang berarti kebiasaan. Artinya bahwa kaum muslimin sudah biasa pada 1 Syawal selalu merayakannya.
Kata yang kedua adalah Fitri. Fitri atau fitrah dalam bahasa Arab berasal dari kata fathara yang berarti membedah atau membelah. Bila dihubungkan dengan puasa, maka ia mengandung makna `berbuka puasa’ (ifthaar). Kembali kepada fitrah ada kalanya ditafsirkan kembali kepada keadaan normal, kehidupan manusia yang memenuhi kehidupan jasmani dan rohani secara seimbang. Sementara kata fithrah sendiri bermakna ‘yang mula-mula diciptakan Allah SWT’.
Adapun secara terminologi, Idul Fitri berarti kembali kepada fitrah kita sebagai manusia. “Satu hal yang patut kita syukuri adalah bahwa rahmat Allah lah yang membuat kita mampu menyelesaikan kewajiban berpuasa sebulan penuh, sebuah ibadah yang bisa dipandang ringan sekaligus berat. Bagi muslim yang berpegang teguh pada ajaran Allah, akan menganggapnya sebagai pekerjaan ringan,” katanya.
Sebab, lanjut dia, puasa tidak hanya menjadi bagian dari kehidupannya. Akan tetapi dia yakin sebagaimana keterangan Allah bahwa puasa telah menjadi bagian terpenting dalam sejarah umat manusia. Dengan kata lain, puasa merupakan satu syarat bagi manusia yang mendefinisikan dirinya sebagai makhluk yang berbudaya dan berperadaban (civilized).
Lantas, puasa macam apakah yang telah mengantarkan muslimin sebagai kaum al-‘aidin wal faizin wal maqbulin? Mas’ud menjelaskan bahwa itu adalah puasa yang menjadikan manusia kembali pada fitrahnya, manusia yang menang, dan diterima di sisi Tuhannya. Pertanyaan ini sekaligus merupakan evaluasi terhadap ibadah puasa.
“Benarkah kita layak mendapatkan sebutan tersebut?” tanyanya. Yang jelas, kata Mas’ud, Ramadhan membawa nilai tambah (added value) yang mengantarkan seseorang menjadi manusia bertakwa. Introspeksi dan ekstropeksi selalu relevan dengan sabda Nabi “haasibu qabla an tuhaasabu” (perhitungkanlah amal-amal kalian sebelum amal kalian diperhitungkan Tuhan).