Jumat 17 Jul 2015 14:06 WIB

Halal Bi Halal, Budaya Khas Umat Islam Indonesia (1)

Warga melaksanakan ibadah Salat Idul Fitri di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, Jumat (17/7). (Republika/Raisan Al Farisi)
Warga melaksanakan ibadah Salat Idul Fitri di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, Jumat (17/7). (Republika/Raisan Al Farisi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag  Abd. Rahman Mas’ud menyatakan, tradisi halal bihalal khas umat muslim Indonesia dan tidak ditemukan di dunia Islam lainnya. Karena itu, tradisi tersebut diharapkan dapat ditegakkan secara berkesinambungan dan konsisten.          

Harapan tersebut disampaikan Abd. Rahman Mas’ud pada khutbah Idul Fitri 1 Syawal 1436 H, Jumat (17/07), di Masjid Agung At-Tin Jakarta. Sangat ironis jika halal bihalal yang unik, sekedar dilanggengkan sebagai seremoni tanpa arti, yang berjalan tiap tahun tanpa adanya kemajuan apapun.         

“Apa yang bisa kita dapatkan dari halal bi halal ini? Inilah pertanyaan penting yang harus kita kemukakan pada diri sendiri,” kata Mas’ud dalam khutbahnya, seperti dikutip kemenag.goid. Hadir pada shalat Idul Fitri tersebut keluarga besar almarhum Soeharto dan Ketua Dewan Pengurus Masjid Agung At-Tin, Muhammad Maftuh Basyuni.

Mas’ud mengatakan, apabila Idul Fitri dan halal bihalal kehilangan ruh dan substansinya, maka budaya formalistik, seremonial, ritualistik, agaknya belum mampu berjalan seirama dengan ajaran dasar agama dan etika sosial masyarakat Indonesia. Sebuah penelitian antropologi baru-baru ini, kata mantan Ketua ICMI Los Angeles AS (1992-1995) ini, membuktikan bahwa selama tiga dekade terakhir, ajaran hablum minannas (human relation) tidak populer. Sebaliknya, ajaran hablum minallah pada dasarnya merupakan wajah utama keberagaman muslim Indonesia yang hampir-hampir tidak berhubungan dengan hablum minannas.

Kesemarakan beragama mengalahkan kekhusyukan beragama. Religiusitas masih sering larut dalam floating mass (massa mengambang) yang lebih mementingkan simbol daripada makna. Karena kondisi sosial ini pula aneka pendekatan yang ada selalu karikatif dan tidak memiliki jangkauan strategis ke depan.

“Kita patut risau lantaran sisi humanisme dalam agama masih jauh dari perhatian umat beragama di Indonesia. Inilah pekerjaan rumah kita bersama kaum Muslimin di mana berada,” katanya mengingatkan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement