REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementrian Agama RI
Secara konstitusional Indonesia bercita-cita mewujudkan masyarakat multikultural, untuk mewujudkan hal tersebut banyak tantangan yang harus dihadapi, baik berkait dengan soal-soal kebangsaan maupun keagamaan. Masyarakat Indonesia yang majemuk, yang diwarnai keanekaragaman adat istiadat, suku, ras, dan agama serta bahasa yang berbeda-beda, sebenarnya merupakan kondisi ideal bagi terciptanya bangsa Indonesia yang kuat dan jaya. namun kemajemukan tersebut mengandung berbagai kerawanan konflik kepentingan di dalam masyarakat.
Kondisi itu sering tidak berhasil di atasi, sehingga konflik vertikal dan horizontal menjadi hal yang semakin biasa terjadi yang kadangkala diikuti dengan konflik-konflik sosial bernuansa agama di beberapa tempat, seperti Poso, Ambon, dan lainnya. Banten sebagai salah satu entitas budaya di Indonesia, memiliki lanskap kehidupan keagamaan yang cukup unik dan menarik. Sebelum kedatangan bangsa-bangsa eropa, etnis Arab, India, dan Thionghoa telah lama bermukim dan berinterksi dengan masyarakat Banten.
Pada awal abad ke-17 Masehi, Banten merupakan salah satu pusat perniagaan penting dalam jalur perniagaan internasional di Asia. Ketika orang Belanda tiba di Banten untuk pertama kalinya, orang Portugis telah lama masuk ke Banten. Kemudian orang Inggris mendirikan loji di Banten dan disusul oleh orang Belanda. Selain itu, orang-orang Perancis dan Denmark pun pernah datang di Banten. Dalam persaingan antara pedagang Eropa ini, Belanda muncul sebagai pemenang. Orang Portugis melarikan diri dari Banten (1601), setelah armada mereka dihancurkan oleh armada Belanda di perairan Banten. Orang Inggris pun tersingkirkan dari Batavia (1619) dan Banten (1684) akibat tindakan orang Belanda.
Artinya, Banten sebagai entitas Islam sebenarnya telah lama bersentuhan dengan budaya-budaya Eropa non-Muslim. Pada perkembangan kemudian, entitas Muslim menjadi budaya dominan, sehingga ada “kekhawatiran” budaya non-Muslim tidak mampu hidup dan berkembang di provinsi ini. Hasilnya, kekhawatiran itu tidak pernah muncul, kalaupun muncul dalam konflik-konflik kecil, seperti kasus Cikeusik, adalah sebuah dinamika sosial-budaya yang muncul seiring dengan perkembangan sector-sektor ekonomi dan sosial lainnya. Artinya, konflik agama tidak pernah muncul sebagai sebuah variabel bebas yang berdiri sendiri.
Oleh sebab itu, memahami kehidupan keberagamaan masyarakat Banten merupakan titik poin dalam memahami hubungan antaragama di Indonesia dengan mayoritas Muslim. Betapa tidak? Dari 10.443.173 penduduk di Provinsi Banten 88,61 persen beragama Islam. 5,35 persen beragama Kristen, 3,64 persen beragama Budha, 1,50 persen Katolik, 0,89 persen Hindu, 0,005 Konghucu, dan sisanya adalah agama lain. Ini artinya harus dilihat sejauhmana kenyamanan kultural penganut non-Muslim hidup dan bertahan di Banten. Dengan cara yang sama faktor-faktor apa saja yang menjadi pendorong kehidupan multiklultural di Banten? Sekaligus, pasti harus ditemukan pula faktor-faktor yang kemungkinan menjadi penghambat kehidupan antaragama tersebut.
Hal-hal tersebut menjadi pertimbangan prioritas penyelenggaraan “Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural Antara Pemuka Agama Pusat dan Daerah di Provinsi Banten”. Pengembangan wawasan multikultural antara pemuka agama pusat dengan pemuka agama daerah melalui dialog/diskusi merupakan salah satu kegiatan penting bagi terciptanya kehi¬dupan yang lebih rukun antar umat beragama di masa yang akan datang. Melalui kegiatan ini selain akan dapat dijalin hubungan yang lebih harmonis antara para pemim¬¬pin agama dari agama yang berbeda, juga dilakukan pengembangan temu wawasan sehingga diharapkan dapat mem¬perluas wawasan multikultural masing-masing peserta baik para pemuka agama pusat maupun pemuka agama daerah.