Ahad 05 Jul 2015 10:41 WIB

Noora Menangis Mendengar Kumandang Adzan

Rep: c38/ Red: Agung Sasongko
Mualaf tengah berdoa (ilustrasi)
Foto: onislam.net
Mualaf tengah berdoa (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, DETROIT -- Noora Al Samman memeluk Islam ketika berumur 15 tahun.

Ibunya perempuan Suriah kelahiran Detroit, sedangkan ayahnya berkebangsaan Amerika dengan latar belakang Polandia-Slovakia.

Dilansir dari onislam.net, Ahad (5/7), Noora lahir di Detroit, Michigan dengan latar keluarga Katolik.  Ketika ia berumur lima belas tahun, ia ingin menjadi seorang biarawati. Ia mengambil kelas Sejarah Dunia di sekolah menengah dan mempelajari semua agama-agama besar.

Ketika pembahasan di kelas sampai pada Islam, ia menjadi sangat tertarik. Ada seorang Muslim Mesir, kawan sekelasnya, yang mengoreksi pendapat guru ketika ia melakukan kesalahan. Noora berpikir, “Wow!” Siswa itu pasti memiliki iman yang kuat sampai berani mengoreksi guru di kelas.

Suatu hari ia bertanya apa perbedaan antara Katolik dan Islam. Kawan sekelasnya itu menjawab ada, tapi tidak banyak. Tidak puas dengan jawaban itu, Noora bertanya apakah ia bisa mendapatkan salinan Alquran berbahasa Inggris. Noora pun mendapatkannya dari ibu kawan sekelasnya itu. Ia mulai membacanya, dan terpesona oleh kalam Allah.

Gadis itu sangat menyukai puisi. Dia menemukan Alquran begitu menakjubkan, tak ada seorang pun pria yang bisa menulis puisi seindah ini. Saat itu juga, ia merasa menjadi Muslimah. Ia mulai shalat dan berpuasa.

Seiring dengan keputusan besar Noura, kesulitan itu mulai muncul. Orang tuanya, terutama ibu, bersikap sangat keras. Mereka mengambil jilbab, sajadah, Alquran, dan buku-buku Islam yang ia punya.

Ayahnya menggeledah kamar setiap hari hingga Noura harus menyembunyikan hijabnya. Ibunya melarang Noura berteman dengan Muslim. Ia menelepon orang tua teman-temannya dan meminta mereka berhenti berbicara tentang Islam pada putrinya. Mereka berdua juga memaksa Noura pergi ke gereja dan bertemu dengan pendeta.

Tak berhenti sampai di situ, tantangan terus datang bertubi-tubi. Mereka mengejeknya saat shalat. Ibunya memasakkan daging babi, yang jelas-jelas haram dalam Islam. Ayahnya memberi Noura pilihan; tetap Katolik atau pergi dari rumah.

Noura sampai harus menyembunyikan Alquran di ventilasi AC. Mereka akan membuangnya ke tempat sampah jika menemukan kitab suci itu. Ia tidak bisa menjelaskan betapa menyakitkan sikap kedua orang tuanya saat itu.

Ayahnya mengulang kembali ultimatum. Untuk beberapa saat, Noura berhenti shalat. Teman-teman Muslimnya tidak ada yang paham apa yang ia alami. Mereka juga belum matang dan berpengetahuan cukup untuk membantu Noura.

Suatu hari, saat ia berusia 20 tahun dan telah berada di universitas, ia menelepon perempuan yang pernah memberinya Alquran. Ia mendengar ada sebuah masjid yang dibangun di dekat mereka. Sebelumnya, masjid terdekat membutuhkan waktu tempuh 1 jam, 45 menit.

Mereka menjawab teleponnya dan Noura bergegas pergi ke sana. Ia sampai menangis ketika mendengar suara azan berkumandang di masjid itu. Gadis itu mengulang kembali syahadatnya di bulan Ramadhan. Kali ini, ia tak ingin peduli lagi dengan apa kata orang tua atau keluarganya.

Ia mulai mengenakan jilbab lagi. Sama seperti lima tahun lalu, orang tuanya melarang. Ibunya bilang, dia tidak perlu memakai benda itu di kepalanya. Ia bisa memakai celana pendek dan tetap modis. Ibunya menambahkan, ia tampak seperti wanita tua mengenakan jilbab itu.  

Tapi, Noura sudah berkomitmen. Kadang-kadang, ia mengenakan jilbab saat di mobil sehingga mereka tidak melihatnya. Suatu kali, ibunya tidak ingin teman-teman kakak Noura melihatnya mengenakan jilbab. Mereka pun merenggutnya dari kepala Noura.

Keributan pun terjadi. Untuk mempertahankan diri, Noura memukul ibunya. Ibunya marah. Ia dikatakan egois dan telah mempermalukan seluruh keluarga. Ibunya tidak mau terlihat dengan Noura di tempat umum.

Gadis itu juga mendapat kesulitan dari neneknya. Ketika ia tengah shalat, ia berteriak-teriak memanggilnya untuk kemudian berkata, “Apakah kamu tidak mendengar saya ketika saya berbicara denganmu!” Tak hanya itu, kakeknya pun ikut berhenti bicara pada Noura.

“Ibuku bahkan mencoba untuk membawa saya ke psikiater. Psikiater itu memberi obat pasikotik. Aku melemparkannya ke tempat sampah,” tutur Noura. Ia merasa sangat sulit belajar dengan semua kegilaan ini.

Kegilaan itu berakhir ketika ia bertemu seorang Muslim asal Damaskus, Suriah. Mereka menikah dan pindah dari Atlanta ke Houston. Tak ada lagi yang melarang Noora untuk shalat, puasa, ataupun berjilbab. Ia sangat bersyukur. Kebahagiaan itu makin terasa sempurna setelah ia melahirkan putra pertamanya setahun kemudian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement