REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejujuran menjadi barang mahal di tengah masyarakat modern dewasa ini. Nilai-nilai itu seolah hanya menjadi hiasan dalam buku pendidikan kewarganegaraan atau slogan yang kosong dari makna.
Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menilai ada dua hal yang melahirkan ketidakjujuran di tengah masyarakat Indonesia.
“Anggota masyarakat kita cenderung hedonis, suka pada hal-hal yang sifatnya kesenangan, materialistis, bahkan kadang-kadang juga mengejar kekuasaan atau jabatan yang sebenarnya berada di luar takaran dia,” kata Haedar kepada ROL, Selasa (30/6).
Haedar menilai, akibat orang ingin mengejar kekuasaan, jabatan, dan kesenangan di luar takaran, dia menghalalkan segala macam cara. Cara-cara yang tidak jujur pun digunakan. Kejujuran digadaikan demi kesenangan dan kekuasaan.
Mental itu juga didukung oleh lingkungan. Menurut Ketua PP Muhammadiyah ini, lingkungan dan sistem kita memberi peluang pada orang untuk berbuat tidak jujur. Ia mencontohkan hal paling sederhana. Saat ada barang jatuh, seringkali kita ambil dan tidak dikembalikan kepada pemiliknya.
Haedar berpendapat, lingkungan dan sistem kita tidak kondusif bagi orang jujur. Sebaliknya, malah memberi iklim yang lebih terbuka bagi orang-orang yang tidak jujur.
Sudah tahu orang tersebut tidak jujur, tapi lantaran dia sukses, punya kekuasaan, dan kekayaan, orang masih juga memberi tempat bagi mereka. Akibatnya, lanjut Haedar, orang yang jujur justru tidak memegang kedudukan dan kekuasaan dalam hidupnya.
Orang jujur tidak lagi dihargai oleh masyarakat. Sebab, masyarakat lebih suka menghargai orang yang punya kekuasaan dan terpandang. Mereka menutup mata akan ketidakjujuran orang tersebut. “Tidak heran kalau sekarang orang-orang yang korupsi dan tidak jujur tetap memiliki kedudukan di tengah masyarakat,” kata doktor Sosiologi UGM ini.