REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Makan atau minum setelah tanda imsak berbunyi, tak diragukan lagi sebagai tanda peringatan hati-hati.
Tujuannya, agar orang yang sedang sahur tidak kaget dengan azan subuh. Dengan adanya tanda imsak, orang yang sedang sahur bisa segera menghabiskan makanannya. Demikian juga orang yang belum sahur, bisa segera untuk makan sahur.
Setiap negara punya kebijakan sendiri soal tanda imsak. Di Indonesia, tanda imsak yang disepakati ulama yakni 10 menit sebelum waktu subuh. Sedangkan untuk daerah Timur Tengah biasanya 15 menit sebelum waktu subuh. Penghitungannya tergantung kesepakatan ulama setempat melihat Kondisi masyarakat yang ada.
Namun bagaimana jika azan subuh sudah berkumandang? Apakah masih diperbolehkan menghabiskan sisa makanan yang ada? Menjadi suatu dilema, jika sisa makanan harus dibuang karena waktu subuh telah masuk.
Dikhawatirkan pula hal ini bisa jatuh pada perkara mubazir karena membuang makanan. Apalagi, tipikal orang Indonesia harus minum setelah makan. Nah, apakah masih bisa menyempatkan minum, padahal azan sudah berkumandang.
Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat. Mazhab pertama, mereka membolehkan menghabiskan suapan terakhir dari makanannya, atau menghabiskan makanan yang sudah ada dalam mulutnya. Demikian juga sekedar minum untuk mengakhiri makan sahurnya. Semuanya itu boleh dilakukan walau muazin sudah mulai mengumandangkan azan.
Sedangkan pendapat kedua, mengharamkan untuk makan apapun ketika sudah terdengar azan. Bahkan, jika ada makanan dalam mulutnya, ia harus memuntahkan makanan tersebut. Jika ia tetap melanjutkan makannya, maka batallah puasanya.
Pendapat pertama berdalil dengan beberapa hadis dan atsar dari para sahabat Nabi. "Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan sendok terakhir masih ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkan sendok tersebut hingga dia menunaikan hajatnya hingga selesai." (HR Abu Daud).
Beberapa pakar hadis menyebut sanad riwayat hadis ini adalah hasan (baik) diantaranya Al-Bani dalam kitabnya As Shahihah (no.1394) dan Syaikh Muqbil Al-Wadii’iy dalam Al-Jaami’ush-Shahiih (2/374). Sedangkan yang menyebutnya sahih adalah Haakim dalam Al-Mustadrak (1/205). Walaupun ada ta’lil dari Abu Hatim yang mengakatan hadis ini dhaif, tapi para ulama tidak menerima alasan pendhaifannya.
Lantas, apakah hadis ini bertentangan dengan ayat Alquran, “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam (maghrib)." (QS. al-Baqarah[2]: 187).
Ulama mazhab ini mengatakan, hadis ini tidaklah bertentangan dengan ayat tersebut. Hadis ini sebagai rukhshah (keringanan) bagi orang yang sahur yang tengah mengunyah makanan atau yang ada di tangan yang belum terselesaikan.
Berbeda halnya orang yang telah selesai makan sahur atau belum sahur sama sekali. Mereka tidak boleh lagi berniat untuk makan atau minum.
Hadis lain yang menguatkan pendapat mazhab pertama adalah hadis Abu Umaamah RA. Ia menyebutkan, pernah suatu kali iqamah sudah dikumandangkan sedangkan bejana masih ada di tangan Umar bin Khaththab RA.
Umar bertanya kepada Rasulullah SAW, "Apakah aku boleh meminumnya?" Beliau SAW menjawab, "Boleh." Maka Umar pun meminumnya. (HR Ibnu Jarir [3/527 no.3017]).
Hadis ini mempunyai dua riwayat, yang satu dari Al-Husain bin Waaqid. Namun riwayatnya disebut sebagai dha'if jiddan (lemah sekali). Sedangkan riwayat lain yang dimulai dari Muhammad bin Ali bin Hasan bin Syaqiiq bin Diinaar Al-Abdi adalah riwayat yang hasan (baik).
Disamping itu, ada pula hadis Jabir bin Abdillah RA. Hadis ini dari Abuz-Zubair yang mengatakan, "Aku pernah bertanya kepada Jabir tentang seseorang yang bermaksud puasa sedangkan ia masih memegang gelas untuk minum, kemudian ia mendengar adzan. Jabir menjawab, "Kami pernah mengatakan hal seperti itu kepada Nabi SAW, beliau bersabda, ‘Hendaklah ia minum’," (HR Ahmad [3/348]).
Disamping hadis-hadis ini, banyak pula hadis-hadis dha'if yang mendukung dalil-dalil tersebut. seperti hadis dari Ibnu Uyainah, ada seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Wahai Rasulullah, muadzdzin telah mengumandangkan adzan sedangkan gelas masih ada di tanganku dan aku berniat untuk berpuasa." Beliau SAW bersabda, "Minumlah". (HR ‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf [4/172-173 no.7369] dan hadis ini adalah mursal Al-Hasan).
Ada pula atsar (perbuatan) sahabat Nabi SAW, yakni Hudzaifah bin Yamaan RA. Seperti diterangkan Abu Thufail, ia pernah sahur bersama keluarganya di Al-Jabbaanah. Setelah itu ia mendatangi Hudzaifah yang waktu itu berada di rumah Al-Haarits bin Rabii’ah. Lalu Huzaifah memeraskan untuknya susu unta betina dan diberikan kepada Abu Thufail.
"Sesungguhnya aku berniat akan berpuasa," ujar Abu Thufail. Hudzaifah pun menimpali, "Aku pun berniat akan berpuasa”.
Kemudian Hudzaifah dan Abu Thufail sama-sama meminum susu onta tersebut. Setelah itu, mereka pun berjalan menuju masjid ketika shalat telah ditegakkan." (HR Ibnu Abi Syaibah [3/10 no. 9028]).
Banyak lagi riwayat-riwayat serta atsar dari para sahabat yang menyatakan mereka tetap menghabiskan makanannya, walau azan sudah mulai berkumandang. Intinya, sebahagian ulama tetap membolehkan untuk menghabiskan suapan terakhir atau sisa makanan yang masih ada di dalam mulut, walau azan sudah berkumandang.