REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Tim Peneliti Bidang Lektur dan Khazanah Keagamaan Kementrian Agama RI
Tradisi pesantren dan kitab (kuningnya) terindikasi menghadapi problem melemahnya pengajaran atau kajian kitab sebagai core dan kekhasan pendidikan pesantren. Kesimpulan ini berdasarkan pada survei pengajaran kitab kuning yang dilakukan oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan tahun 2011. Survei menunjukkan bahwa frekuensi pengajaran kitab kuning di pesantren dalam beragam bidang keilmuannya tergolong rendah, baik dilihat dari kitab-kitab pilihan kiai maupun santri.
Hal ini mungkin disebabkan oleh pergeseran orientasi pendidikan pesantren, yang cenderung mengadopsi kebutuhan-kebutuhan dalam konteks kekinian, misalnya memodernisasi pelajaran pesantren dengan memasukan pelajaran-pelajaran umum, sehingga pengajaran kitab kuning sebagai kekhasan dan core pendidikan pesantren melemah.
Tentu saja hal ini bukan sebuah kesimpulan yang begitu saja dapat diterima. Mungkin saja terdapat pesantren-pesantren yang masih memiliki kekuatan tradisi kajian kitabnya, yang dapat dijadikan model bagi revitalisasi tradisi kajian kitab di pesantren. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan yang memeriksa dan mempelajari secara mendalam pesantren-pesantren yang masih memegang teguh tradisi kajian kitab.
Untuk mendapatkan data, penelitian ini melakukan pembacaan teks kitab, wawancara dan observasi terhadap komunitas pesantren yang menjadi obyek penelitian. Penelitian dilakukan di beberapa wilayah, yakni Aceh (Dayah Ruhul Fata), Sumatera Barat (Pesantren ar-Rasuli MTI Candung dan Pesantren Sumatera Thawalib Parabek), Sumatera Selatan (Pesantren Rubat al-Muhibbin Palembang, Banten (Pesantren Darul Falah dan Pesantren Al-Mustajib Madaridul Ulum Serang), Jawa Barat (Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon).
Pertama, tradisi kitab sebagai keunggulan pesantren tidak ditinggalkan, masing-masing pesantren telah menjadi “penjaga tradisi” tafaqquh fi al-din, meskipun dengan cara dan orientasi paham atau pemikiran keagamaan yang berbeda, dengan kesinambungan dan perubahan yang terjadi. Dengan demikian, ini menjadi pertanda juga bahwa frekuensi pengajaran kitab, setidaknya di pesantren diteliti, tidak bisa dikatakan rendah.
Kedua, masih berlanjutnya pesantren-pesantren tersebut dengan berbagai perubahan dan adaptasi dengan dunia modern, yakni dengan menggunakan sistem madrasah, menunjukkan sikap mereka yang terbuka terhadap perubahan dengan tetap mempertahankan kitab sebagai sumber belajar agama-bahkan sebagai sumber peradaban pesantren dalam pandangan Baso, meskipun pembacaan yang kritis dan kontekstual terhadap kitab belum sepenuhnya dilakukan. Upaya-upaya untuk mengaktualisasikan pelajaran-pelajaran dalam berbagai kitab yang diajarkan dalam bentuk penulisan makalah akhir di pesantren, maupun forum-forum diskusi (muzakarah atau bahth al-masa’il).
Dari penelitian ini tim merekomendasikan untuk:
1. Penguatan tradisi diskusi di kalangan santri dalam memahami kitab yang dipelajari
2. Penguatan tradisi menulis untuk mengaktualisasikan pemahaman terhadap kitab dan upaya memberikan jawaban atas persoalan umat. Untuk itu perlu dilakukan pencarian dan penunjukkan model terhadap pesantren-pesantren yang sudah menjalankan tradisi diskusi dan tradisi menulis yang baik di kalangan komunitas pesantren;
3. Dukungan infrastruktur dan program-program yang memperkuat tradisi kajian kitab dari pemerintah, seperti MQK, bantuan koleksi kitab, dan pembinaan SDM para ustaz pesantren.