REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika berusia 17 tahun, Sarah Carland mulai mempertanyakan kepercayaan yang ia anut. Apakah saya percaya apa yang saya lakukan hanya lantaran saya dibesarkan untuk percaya atau karena memang saya pikir itu benar? Pertanyaan ini mengusik gadis Australia itu.
Sarah kemudian memutuskan untuk menengok agama-agama lain. Ia memiliki resolusi tahun baru untuk mempelajari agama Yahudi atau hal semacam itu. Tapi, Sarah sama sekali belum tertarik untuk menjadi Muslim.
Ketika akhirnya ia membaca tentang Islam, Sarah menyadari itu benar-benar sangat berbeda dari apa yang ia pikirkan selama ini. Islam sangat damai, egaliter, menghargai perempuan, dan menekankan pada keadilan sosial. Menurutnya, itu adalah agama yang sangat intelektual, sekaligus sangat spiritual. Sarah mulai tertarik.
Setelah beberapa tahun mendalami Islam, pada usia 19 tahun Sarah sadar bahwa ini sebenarnya sesuatu yang benar-benar ia percayai.
“Saya tidak merasa banyak berubah. Saya masih orang yang sama. Kehidupan sehari-hari saya tidak berubah sama sekali, kecuali bahwa sekarang saya shalat lima kali sehari dan mengenakan jilbab. Itu yang tidak saya lakukan sebelum Muslim,” tuturnya,
Dengan kata lain, kisah Sarah, ia tidak merasa seperti orang yang tiba-tiba berubah. Ia masih menjalin persahabatan dengan teman-teman yang sama, bahkan bertambah banyak. Ia berkawan dengan Muslim maupun non-Muslim.
Menurut Sarah, saat ini kita hidup dalam masyarakat di mana wanita terus-menerus menjadi obyek. Setiap kali menyalakan TV atau mengendara melewati billboard, kita akan menyaksikan wanita seorang telanjang dieksplorasi untuk menjual spaghetti, sikat gigi, karpet, atau apapun.
Dengan hijab, seorang perempuan telah menyatakan tidak ikut ambil bagian atas eksplorasi itu. “Saya ingin dilihat lebih dari sekedar seberapa ukuran dada, panjang kaki, jenis rambut, atau sesuatu semacam itu. Allah telah memilih perempuan dalam masyarakat ini sebagai pembawa bendera Islam,” kata dia.
Jika ada stereotipe negatif tentang Islam di luar sana, kata Sarah, banyak yang menimpakannya di pundak umat Islam. Orang tidak akan berpikir hal-hal yang salah tentang islam, selagi umat Islam tidak terus-menerus melakukan hal yang salah atau negatif.
Menurutnya, Muslim perlu berpikir terbuka dan berpartisipasi dalam dialog-dialog, menyambut non-Muslim ke dalam masjid dan menjelaskan agama mereka. Sekedar bercakap-cakap dengan tetangga atau rekan kerja atau wanita yang duduk di sebelah kita di bus, perlahan akan mengubah stereotipe.