REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ramadhan 1436 H ini adalah kali kedua bagi Saldhyna menjalani ibadah puasa di Tanah Napoleon. Tantangan durasi waktu puasa yang panjang membuat Muslim di Perancis harus pandai-pandai mengatur jadwal.
“Mau tak mau, aku harus berpuasa selama kurang lebih 18 jam di Perancis. Itu bukan waktu yang pendek jika dibandingkan dengan waktu puasa di Indonesia yang sekitar 13 jam,” kata Saldhyna kepada ROL, Rabu (24/6).
Alumnus Jurusan Kimia, Institut Teknologi Sepuluh November itu sudah dua tahun tinggal di Perancis. Tahun lalu, ia menjejakkan kaki di benua biru sebagai mahasiswa master di Universite Paris-sud, Paris. Saat ini, ia pindah kota ke Grenoble untuk menemani suami yang tengah mengambil program doktor.
Sama seperti kebanyakan negara Eropa lain, Ramadhan di Perancis tahun ini jatuh pada musim panas. Saldhyna mengisahkan, sahur di Perancis berakhir sekitar pukul 04.00, sedangkan waktu buka puasa baru sekitar pukul 21.30. Itu belum lagi jika matahari senang berlama-lama menampakkan diri tepat di atas kepala.
Kondisi itu mengharuskan umat Muslim di Perancis untuk pandai mengatur waktu dan memiliki stamina yang fit. Tak jarang, ia melewatkan sahur karena tertidur setelah menunggu waktu Isya yang baru jatuh pukul 23.30.
Untuk menyiasati hal ini, kata Saldhyna, biasanya dia melatih diri dengan puasa Senin-Kamis sejak jauh-jauh hari sebelum Ramadhan. Ia juga sering mengakhirkan waktu Isya, sehingga langsung tidur setelah berbuka dan sholat maghrib. Sekitar pukul 03.00, barulah ia bangun sholat Isya dan sahur.
Saldhyna mengaku kadang-kadang muncul rasa khawatir dan pesimistis tak bisa menjalani Ramadhan secara maksimal. Melalui Ramadhan satu bulan penuh di negeri orang terasa sangat berat. Sesekali pula terbayang pengalamannya 22 tahun menghabiskan Ramadhan di Indonesia.
Di tanah air, Ramadhan begitu semarak. Sinetron-sinetron bertema religi sudah mulai tayang sejak sebulan sebelumnya. Para pedagang kaki lima tak mau kalah berbaris rapi menjajakan takjil jelang buka puasa. Spanduk-spanduk bertuliskan syiar Islam turut berkibar-kibar riang. Semua itu menjadi nostalgi yang baru akan terasa begitu hangat saat kita telah jauh dari kampung halaman.