REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi VIII DPR RI mengaku tidak mempermasalahkan jika fatwa ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang kedudukan pemimpin yang tidak menepati janjinya dijadikan hukum positif.
"Masalahnya, apakah hal itu bisa disepakati oleh lintas fraksi? Tentu itu harus dipikirkan lebih jauh," ujar Ketua komisi VIII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay kepada ROL, Senin (22/6).
Ia menjelaskan, jika mayoritas fraksi mendukung hal tersebut tentu tidak ada larangan untuk menjadikannya sebagai hukum positif. Untuk itu, MUI harus melakukan lobby-lobby kepada fraksi yang ada.
Namun demikian perlu dipikirkan soal skala prioritas pembahasan Undang-undang di DPR. Ia menerangkan, saat ini DPR telah memiliki prolegnas jangka pendek dan jangka panjang. Prolegnas sendiri telah disusun berdasarkan skala prioritasnya.
Untuk menuntaskan prolegnas yang ada saja, DPR memerlukan waktu yang lama. Jika ditambah dengan fatwa tersebut, maka akan memperpanjang antrean pembahasan UU di Baleg DPR. "Apakah masalah menepati janji ini dianggap sangat penting dibandingkan persoalan kebangsaan yang lain? Ini tentu akan menjadi perdebatan tersendiri," katanya.
Untuk itu, sebaiknya fatwa MUI ini disosialisasikan saja terlebih dahulu. Dengan begitu, semua pihak bisa menangkap semangat dari dikeluarkannya fatwa tersebut. Kalaupun tidak bisa mengikat secara yuridis, setidaknya fatwa ini akan menjadi panduan moral bagi para politisi.
Dengan demikian, dalam setiap kampanye para politisi tidak sembarangan mengumbar janji. Kalaupun ada janji, janji tersebut harus betul-betul bisa dilaksanakan.