REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), Slamet Effendi Yusuf, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi Undang-Undang (UU) No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, khusus mengenai pernikahan beda agama, sudah benar dan positif.
Menurutnya, dulu MK juga pernah menolak permohonan serupa, yang juga berkenaan dengan pernikahan beda agama.
Effendi mengungkapkan, pada akhir 1973, terdapat kelompok-kelompok sekuler yang mengajukan rancangan undang-undang (RUU) tentang pernikahan beda agama. Ia menilai RUU yang diajukan oleh kelompok sekuler itu sangat mirip dengan hukum perdata barat.
Akhirnya, pengajuan RUU tersebut seketika ditentang oleh umat Islam di seluruh Indonesia. ''Reaksi luar biasa waktu itu. Seluruh umat Islam di Indonesia berdemo," katanya pada Republika Online.
Menanggapi situasi demikian, lanjutnya, Presiden Soeharto kala itu memanggil para alim ulama untuk mendiskusikan masalah ini. Akhirnya, tambah Effendi, umat Islam bersepakat untuk mengajukan konsep dan RUU tandingan terkait pernikahan.
''RUU yang diajukan oleh umat Islam waktu itu diterima oleh pemerintah dan kini jadi UU Perkawinan. UU itu lahir dari reaksi dan pergelutan konsep," ungkapnya. Berangkat dari pengalaman sejarah itu, Effendi mengapresiasi putusan MK tersebut.
Sebelumnya, MK akhirnya menolak seluruh permohonan uji materi terhadap pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, khususnya mengenai perkawinan beda agama. Hakim Konstitusi Arief Hidayat menegaskan UU tersebut tidak melanggar konstitusi.
Permohonan uji materi perkawinan beda agama diajukan oleh Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, dan Varita Megawati Simarmata. Dalam permohonannya, pemohon merasa hak-hak konstitusional mereka berpotensi dirugikan dengan berlakunya syarat keabsahan perkawinan menurut hukum agama. Perkara ini teregistrasi dengan Nomor 68/PUU-XII/2014.