REPUBLIKA.CO.ID,DALLAS -- Perceraian adalah sesuatu yang bisa terjadi di negara manapun. Namun, Muslim Amerika Serikat menghadapi tantangan yang berbeda ketika mereka dihadapkan pada pilihan itu, khususnya dalam kasus pernikahan lintas budaya.
Fatimazahra Assal, seorang keturunan Maroko-Amerika yang tinggal di California, mengaku sulit mengambil pilihan ketika ia menyadari keinginannya untuk bercerai.
"Di Amerika, ada kesempatan saya bisa menikah lagi. Tapi, di Maroko itu tidak akan pernah terjadi. Tidak ada yang menginginkan saya," ujar Assal, dilansir dari onislam.net, Selasa (2/6).
Menurutnya, tidak ada stigma negatif yang melekat pada perceraian di Amerika Serikat seperti di beberapa negara Muslim.
Jika ia berada di Maroko, mungkin satu-satunya kesempatan bisa menikah lagi adalah dengan seseorang yang jauh lebih tua, sekitar 70 atau 80 tahun, yang membutuhkan istri untuk merawatnya.
Namun, mudahnya akses perceraian juga berdampak negatif bagi beberapa Muslim Amerika. Khususnya, bagi pasangan mualaf asli Amerika yang menikah dengan imigran Muslim yang datang ke Amerika.
Meski belum ada angka resmi, sebuah penelitian di awal tahun 1990-an menyimpulkan angka perceraian di kalangan Muslim Amerika sekitar 31 persen.
Pada tahun 2012, lembaga yang sama, Institute for Social Policy and Understanding (ISPU), melaporkan jumlah itu telah meningkat tajam selama 25 tahun terakhir.
Banyak mualaf yang menikah dengan seorang berstatus Muslim dari kecil mengaku tidak terkejut dengan angka-angka ini, karena mereka telah menghadapi segudang tantangan dan kesulitan yang tidak dialami pasangan pada umumnya.