REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pesantren adalah jaringan Islamisasi tanah Jawa yang sangat berpengaruh. Tampilnya pesantren sebagai tempat persemaian tradisi dan kesusastraan, menunjukkan bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar, tetapi juga lembaga kehidupan dan kebudayaan.
Ahmad Baso dalam Pesantren Studies Buku 2, Juz 2b, menulis, sastra pesantren dalam beragam bentuknya adalah buah karya orang-orang pesantren dalam mengolah cerita, menulis ulang hikayat, hingga menciptakan karya-karya baru. Kandungannya bermacam-macam, mulai dari roman, sejarah, realitas sosial, sampai tema kepahlawanan.
Pesantren dan kraton pada masa lampau menunjukkan hubungan timbal balik yang positif dalam bidang kesusastraan.
Pada abad ke-17 dan 18, pesantren menjadi tempat, atau setidaknya inspirasi, para pujangga dan sastrawan menghasilkan karya sastra. Ahmad Baso mencontohkan tiga pujangga keraton Surakarta, yaitu Yosodipuro I, Yosodipuro II, dan Ranggawarsita.
Ketiga pujangga ini tekun mengembangkan karya-karya sastra dalam berbagai bentuk, seperti kakawin, serat, dan babad. Yosodipuro I misalnya, adalah pujangga istana yang pernah nyantri di sebuah pesantren di Kedu, Bagelen. Pesantren tersebut saat itu dikenal mengajarkan kesusastraan Jawa maupun Arab.
Dalam Serat Cebolek, Yosodipuro menggambarkan seorang ulama dari Kudus, Jawa Tengah, yang menunjukkan keahliannya membaca dan menafsirkan naskah-naskah kuno di hadapan para priyayi Keraton Surakarta.
Sebelum dibakukan menjadi 'milik kraton' oleh Yosodipuro II pada pertengahan abad ke-19, teks-teks sastra seperti Serat Jatiswara, Serat Centhini, dan Serat Cebolek juga telah beredar luas di kalangan santri pesisir. Kisah perjalanan kaum santri pengembara (santri lelana) menuntut ilmu di berbagai pondok mendominasi karya-karya ini.
Ahmad Baso menjelaskan, sastra pesantren memiliki fungsi sosial dan fungsi pedagogis. Fungsi pedagogis jelas sebagai alat pengajaran etika dan akhlak, tapi fungsi sosial ini menarik. Para pemilik naskah yang mayoritas berpendidikan pesantren menegaskan kepemilikannya dengan menambahkan kolofon, catatan, atau tanda tangan pada dua halaman terakhir.
Fungsi sosial sastra pesantren juga ditunjukkan dari cara kaum santri melakukan penggubahan, penambahan, dan penyisipan, agar sesuai dengan cita-cita sosial keagamaan kaum santri.
Hikayat Malem Diwa yang hampir sepenuhnya diwarnai kosmologi Hindu misalnya, disisipi predikat 'guru ngaji di meunasah' kepada tokoh protagonisnya. Meski tampak kecil, sisipan ini mengubah secara total konstruksi cerita.