REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isra Miraj adalah anugerah bagi Nabi Muhammad atas kebesaran hatinya memaafkan orang-orang yang telah menentang dakwah Islam.
Amr Ibn Az-Zubair meriwayatkan, Aisyah pernah bertanya kepada Nabi, “Apakah engkau pernah mengalami hari yang lebih sulit dibandingkan hari ketika pertempuran Uhud?”
Rasulullah menjawab, “Aku telah banyak mengalami penderitaan dari kaummu. Tapi penderitaan paling berat yang aku rasakan, yaitu saat ‘Aqabah, saat aku menawarkan agamaku kepada Ibnu 'Abdi Yalîl bin Abdi Kulal, tetapi ia tidak memenuhi permintaanku.”
Rasulullah pun pergi dengan wajah bersedih, bahkan sempat tak sadar hingga sampai di Qarnust-Tsa’alib. “Aku mengangkat kepala, tiba-tiba aku melihat sekumpulan awan yang menaungiku. Aku perhatikan awan itu, ternyata ada Malaikat Jibril.”
“Ia memanggilku dan berseru, ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Allah telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk melakukan apa saja yang engkau mau '.”
Malaikat penjaga gunung itu mengucapkan salam lalu berkata, ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, niscaya akan kami timpakan gunung Al-Akhsyabayn ini kepada mereka.”
Namun, Rasulullah menjawab, “Tidak, justru aku berharap supaya Allah melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya”. (HR Imam al-Bukhari)
Itulah yang dilakukan oleh Nabi kita tercinta. Dia bisa menghancurkan suatu kaum dengan hanya satu kata, tapi ia tidak akan melakukannya karena ia diutus sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia.
Dia memiliki hati penuh kasih untuk semua orang. Alih-alih menghancurkan, Muhammad memilih untuk mendoakan agar terlahir dari mereka generasi yang akan menegakkan agama Allah.
Tak lama setelah itu, Allah memberikan anugerah bagi Nabi yang pemaaf ini untuk melakukan suatu perjalanan luar biasa yang belum pernah terjadi di alam semesta. Dari Masjidil Haram menuju Masjid al Aqsa, kemudian naik ke langit tertinggi bertemu Allah SWT.