REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kembalinya Yerusalem kepangkuan Islam tidak menyebabkan umat Muslim bersikap intoleran terhadap penganut agama lain. Ini dibuktikan dengan sikap kalifah Umat bin Khattab yang enggan shalat di gereja.
Sejarah mencatat, saat memasuki waktu shalat, Umar bertanya kepada Ka’ab al-Akhbar, seorang sahabat yang dulunya beragama Yahudi.
“Di mana bisa shalat?” Kaab menunjuk tempat sebelah Utara Karang Suci (Shakhrah) dengan maksud agar dapat menghadap Karang Suci dan sekaligus menghadap Ka’bah.
Tetapi Umar malah marah dan menganggap Kaab masih membawa-bawa kepercayaan agama lamanya. Umar lalu memilih tempat sebelah Selatan karang dan memerintahkan supaya di situ didirikan masjid sederhana.
Masjid inilah yang nantinya oleh al-Walid ibn Abd al-Malik dibangun kembali menjadi masjid megah di atas Shakhrah oleh ‘Abd al-Malik ibn Marwan dibangun kubah (Qubbat al-Sakhrah).
Sebagai monumen kemenangan Islam di tempat pusat agama Yahudi dan Kristen. Sampai sekarang bangunan tersebut masih merupakan landmark yang paling penting dari Yerusalem.