REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Kerukunan Umat Beragama Selamet Effendy Yusuf mengatakan, pemikiran radikal dalam beragama perlu disikapi secara bijak.
Menurutnya, upaya menelaah Islam secara radikal atau sampai ke akarnya perlu memperhatikan ruang dan waktu. Hal ini agar radikal dalam beragama tidak malah melahirkan terorisme
Slamet mencontohkan, radikalisme dalam memahami sumber hukum. Alquran menyebutkan, barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah SWT, maka dia adalah orang kafir.
Menurut Slamet, para radikalis yang berpikiran sempit lantas menerjemahkan dalil itu secara harfiah. Namun, kata Slamet, ada juga para pemikir yang mengaitkan dalil dengan konteks waktu dan tempat sehingga akan menjadi cocok.
Ayat tersebut, kata dia, tidak bisa diartikan secara harfiah, tapi harus diartikan secara substansial. Substansinya, hukum Allah bersumber dari prinsip keadilan.
Hal itu pun dijelaskan pula dalam teks lain yang menyebutkan hendaknya seseorang berdiri dengan iman yang teguh sebagai saksi untuk penegakkan keadilan.
“Radikalisme biasanya muncul dari orang-orang yang menerjemahkan hukum Islam secara harfiah, tidak cocok dengan tempat dan waktu saat ini, dan tidak sesuai dengan kemaslahatan umat," ujar Slamet.
Ia pun menekankan pentingnya Muslim Indonesia untuk mengembangkan model pemahaman agama yang luas. Biasanya, dari sana lahir model pemahaman moderat yang toleran.
Pemikiran moderat berarti tidak ekstrem dan tidak ghuluw (berlebih-lebihan). Ekstremitas, kata Slamet, mendatangkan pemikiran sempit sehingga mudah mengafirkan orang yang berbeda dengannya.
Sebelumnya, Senin (20/4), Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, umat beragama wajib bersikap radikal dalam menjalankan keyakinan. Dengan bersikap radikal, nilai-nilai yang terkandung dalam agama bisa lebih terasa dan dirasakan.
“Jadi, radikal dalam hal mewujudkan kasih sayang, mewujudkan kedamaian, radikalisme dalam hal memanusiakan manusia, radikal dalam menjunjung tinggi toleransi dan tenggang rasa,” kata Lukman kepada Republika.
Radikal tidak berarti kekerasan. Menurut Lukman, radikal berarti mengakar. Sehingga, radikalisme agama bisa diartikan dengan memahami ajaran agama secara mengakar atau menyeluruh.
Lukman mengatakan, tanpa keyakinan yang radikal, nilai-nilai substansial dan universal agama tidak akan kokoh. “Jadi, begitu yang diperlukan,” ujarnya.