REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Istilah ekstremisme dinilai lebih tepat ketimbang radikalisme untuk menggambarkan pemikiran serta ide beragama yang berbeda. Lantaran selama ini terjadi distorsi dalam penggunaan beberapa istilah seperti radikalisme dan terorisme.
Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyatakan, dalam konteks beragama seseorang harus beragama dengan dasar pemahaman dan akar yang kuat. Akan tetapi, bukan berarti harus menjadi ekstrem.
"Sehingga menurut saya lebih tepat digunakan istilah ekstremisme ketimbang radikalisme," ujar Mu’ti, Selasa (21/4).
Ia menjelaskan, ekstremisme bersikap hanya ada hitam dan putih. Artinya, satu kelompok benar sedangkan lainnya salah.
Menurutnya, hal itu pun menjurus pada tindakan intoleransi dan di level yang lebih tinggi dapat menjadi tindak kekerasan pada kelompok yang berbeda.
Dalam konteks ini, gerakan radikal banyak variannya dan para intelektual berganti-ganti dalam menggunakan istilahnya.
"Pada 1980-an muncul istilah militan kemudian lahir istilah fundamentalisme dan akhir-akhir ini radikalisme," ujar Mu’ti.
Mu’ti berpendapat, kelompok radikal yang cenderung intoleran dapat digolongkan sebagai kelompok ekstrem.
Hal ini karena mereka tidak bisa menerima perbedaan kelompok lain, menjustifikasi kelompoknya paling benar, dan melegalisasi tindak kekerasan pada kelompok lain yang berbeda pendapat.