REPUBLIKA.CO.ID, Suatu saat ketika menunaikan ibadah haji, Abuya bertemu Al Maliky dan ia menjelaskan, bahwa dirinya merupakan putra Syekh Mudo Waly. Dari sinilah Sayid Al Maliky mengijazahkan semua ilmu tharekatnya kepada Abuya Muhibbuddin.
Ia memiliki ribuan murid yang tersebar di seluruh tanah Melayu Nusantara mulai dari Aceh sampai ke tanah Jawa, Sulawesi, Malaysia bahkan Brunei Darussalam dan Pattani (Siam). Abuya juga dikenal sebagai yang produktif akan karya kitab-kitabnya.
Di antaranya, ia mengarang syarahan kitab Al-Hikam (Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawwuf) yang dibuat oleh Al Imam Ahmad Abul Fadhal gelar Tajuddin bin Muhammad bin Abdul Karim bin Athaillah Iskandari (Askandari).
Kitab Syarahan Al-Hikam ini telah diakui oleh seluruh ulama-ulama Melayu Nusantara pada pertemuan di Singapore bulan Februari 1992 Untuk ditetapkan sebagai acuan utama bagi syarahan resmi Al-Hikam yang dipakai oleh seluruh ulama di tanah Melayu Nusantara.
Selain mendapatkan ijazah Thariqat dari Syaikh Haji Abdul Ghani Al Kampari dan dari ayah beliau Syaikh Haji Muhammad Waly, Beliau juga mendapatkan ijazah dari ulama besar Masjidil haram. Di antaranya Syaikh Muhammad Yasin Al Fadaany dan Al ‘Alim Al Muhaddist Syaikh Sayyid Muhammad bin Sayyid ‘Alawy bin Sayyid Abbas Al Maaliki Al Hasany.
Mereka merupakan anak dari ulama besar Masjidil Haram yang juga merupakan guru dari Syaikh H. Muhammad Waly Al-Khalidi yang bernama Syaikh Ali Maliky.
Pada 7 Maret 2012, kabar duka menyeruak di seluruh pelosok tanah Aceh Darussalam. Abuya Muhibbudin Waly berpulang ke rahmatullah. Abuya wafat sekitar pukul 22.00 wib di Rumah Sakit Fakinah, Banda Aceh.
Abuya meninggal setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Ulama yang alim dan luas dalam bidang ilmu ini meninggalkan ratusan tulisan, manuskrip, buku dan makalah-makalah agama, sosial kemasyarakatan, politik, ekonomi (perbankan), national security (Militer), sejarah kesultanan Aceh, dan pemerintahan serta perundang-undangan yang dibuat untuk generasi Ahlussunnah Wal Jama’ah ke depan.