Oleh: Prof H Dadang Kahmad
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam mengajarkan pemeluknya memiliki sifat tawadhu (rendah hati), mengakui terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Sifat tawadhu menyadarkan seseorang selalu memohon ampun kepada Allah dengan beristighfar. Rasulullah SAW mencontohkan istighfar paling sedikit sebanyak 100 kali setiap hari.
Merasa diri suci merupakan kesombongan, merasa paling berkuasa termasuk ketakaburan, merasa paling benar ialah kebodohan. Kesombongan cenderung merendahkan, menyalahkan orang lain, dan merasa dirinya yang paling benar.
Sombong dan ria merupakan penyakit jiwa yang tidak terasa. Bahaya laten yang menyelinap di setiap hati manusia. Jika saja tidak diawasi oleh kebeningan hati dan dibimbing oleh iman yang kuat, niscaya akan bersemayam di hati dan menjadi kepribadian yang susah dihilangkan.
Secara teologis sombong merupakan salah satu sifat yang diwariskan setan kepada manusia. Setan dilaknat Tuhan karena menolak perintah untuk bersujud kepada Adam karena merasa lebih mulia kedudukannya. Bila Adam tercipta dari tanah, dirinya berasal dari api. Bagi setan api lebih mulia dari tanah. Padahal di hadapan Allah, semua makhluk sama dan yang membedakannya, yaitu derajat ketakwaan.
Firaun yang mengaku dirinya Tuhan karena merasa paling berkuasa. Qarun sombong karena merasa dirinya paling kaya. Kesombongan menguasai jiwa dan pikiran manusia karena “merasa paling kaya, cantik, tampan, berkuasa, gagah, suci, benar” dan segala pikiran yang merasa “lebih” dibandingkan orang lain.
Padahal, segala simbol kehidupan yang disebutkan tadi semuanya milik Allah semata, hanyalah titipan sementara untuk dipergunakan beribadah kepada-Nya. Namun, semua perhiasan duniawi itu kerap membuat manusia lupa diri.
Dalam Alquran surah al-A’raf ayat 48, Allah SWT mengingatkan bahwa segala hal yang disombongkan itu tidak ada manfaatnya sama sekali. “Harta yang kamu kumpulkan dan apa yang selalu kamu sombongkan itu, tidaklah memberi manfaat kepadamu.”
Dalam teladan kenabian kita melihat, Nabi Daud yang berkuasa tetap rendah hati, Nabi Sulaiman yang kaya raya tetap tawadhu, Nabi Musa yang pintar tetap merasa kurang, Nabi Muhammad SAW yang paling taat dan suci tetap beristighfar lebih dari 100 kali setiap hari. Itu semua karena mereka menyadari kekurangannya dan menghindari kesombongan dalam jiwa mereka.
Hidup di dunia ini hanya sebentar, seperti orang yang singgah di perjalanan. Umur manusia bagaikan orang yang menyeberang jalan. Keabadian itu ada pada kehidupan yang akan datang. “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) adalah bagi orang-orang yang bertakwa,” (QS al-Qashash [28]: 83).
Mesti disadari bahwa dalam segala aspek kehidupan terdapat kesempatan untuk ria dan sombong, bahkan dalam ibadah sekalipun sombong bisa hadir dalam bentuknya yang lain. Misalnya, ingin dipuji orang, dipandang saleh, alim, dan suci. Semua itu termasuk jebakan yang harus diwaspadai. Ikhlas dalam beribadah merupakan penangkalnya, kontinu terus-menerus ialah obatnya, tak terganggu oleh kemeriahan, harapan mendapat pujian dan penilaian dari orang lain.
Harta hanyalah alat untuk beribadah. Jabatan merupakan amanah untuk memberikan pelayanan terbaik kepada sesama. Ditakdirkan mempunyai paras cantik atau tampan untuk lebih bersyukur kepada Zat Pencipta, seperti diteladankan oleh Nabi Yusuf AS, bukan untuk dipertontonkan apalagi diperjualbelikan. Semua termasuk ujian agar manusia tetap beriman, beribadah, dan berakhlak mulia dalam hidup keseharian.
Janganlah bersifat tinggi hati karena hal itu hak Allah SWT. Ia murka kepada orang yang menyaingi-Nya dan menyindirnya, “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung,” (QS al-Isra [17]: 37). Wallâhu’alam.