REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Gerakan Santri Menulis yang dipelopori Yayasan Pantau diyakini membuat para santri lebih toleran. Selain itu, yayasan ini juga berharap agar para santri bisa terhindar dari hal yang berbau kekerasan.
“Intinya, kami ingin suara-suara santri yang Islam toleran lebih mengemuka,” ungkap Ketua Yayasan Pantau, Imam Shofwan kepada Republika, Rabu (18/3).
Mengenai alasan pembentukan gerakan tersebut, Shofwan pun menjelaskannya. Menurutnya, gerakan ini bermula dari survei yang ditemukan yayasan mengenai kondisi para santri di beberapa pesantren. Saat itu, menurutnya, para santri di pesantren yang ditemukannya lebih tampak konservatif.
“Timbul gerakan-gerakan anti-Ahmadiyah di antara mereka,” ujar Shofwan.
Dia berpendapat, kondisi tersebut bukan model santri yang sebenarnya. Menurutnya, sikap santri yang tepat itu seharusnya lebih toleran dan lembut.
Karena memudarnya model santri yang toleran, Shofwan dan yayasannya pun berkeinginan agar sikap itu tumbuh kembali. Mereka berupaya agar suara-suara santri yang toleran kembali menguat. Terutama, lanjutnya, suara-suara itu diharapkan bisa terdengar dan tertulis hingga ke media massa.
Mengenai kesadaran santri dalam menulis, Shofwan mengaku setiap tempat memiliki penilaian yang berbeda. Menurutnya, di antara tempat yang telah mereka kunjungi, Yogyakarta dan Jombang memiliki kesadaran menulis yang lebih baik.
Dia berpendapat, hal ini bisa terjadi karena berkenaan dengan tradisi menulis yang dlakukan para santri saja.
“Semua karena tradisi menulis saja,” terang Shofwan.
Menurut Shofwan, kesulitan yang dialami para santri itu bermula dari kebiasaan menulisnya saja. Oleh sebab itu, komunitas menulis sangat perlu untuk dibentuk di pesantren-pesantren demi membudayakan menulis.