REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSEL -- Masyarakat Muslim Eropa, khususnya Belgia tertarik mempelajari Islam Indonesia yang dikenal moderat, santun, namun tetap menghargai perbedaan dan kemajemukan, kata Julie Pascoet dari perwakilan European Network Against Racism (ENAR) saat bertemu dengan Dirjen Pendidikan Islam, Kamaruddin Amin di Kedutaan Besar Republik Indonesia Brussels, Kamis (12/03).
Pascoet yang ditemani Laurie Hastir dari Collective Against Islamophobia in Belgium (CAIB) menjelaskan banyak hal mengapa Muslim Eropa merindukan model penerapan Islam seperti di Indonesia. Menurut Pascoet, Muslim Eropa masih mengalami diskriminasi dan rasisme dalam banyak aspek.
“Kontra rasisme dan radikalisme serta diskriminasi masih menjadi isu besar dalam Muslim Eropa,” kata wanita berjilbab keturunan Maroko itu sebagaimana dikutip laman kemenag.go.id, Senin (16/3).
Pascoet, aktivis perempuan yang pernah datang ke UIN Yogyakarta untuk menjelaskan problem masyarakat Muslim Eropa itu membenarkan bahwa citizenship of Moslem masih menjadi kendala bagi banyak warga negara Muslim di Belgia. Kalangan Muslim Belgia umumnya imigran dari Maroko, Turki, dan negara-negara Islam lain.
“Kondisi anak-anak muda Muslim Eropa tak kalah problematik,” kata Laurie Hastir menimpali pernyataan Pascoet. Hastir yang sehari-hari bergelut dengan persoalan islamopohobia melalui Collective Against Islamophobia in Belgium (CAIB) bercerita panjang lebar mengenai nasib keluarga muslim Eropa yang terasing dari komunitasnya di mana dia tinggal dan orang tuanya hidup.
“Di tengah-tengah saudara seagamanya di Eropa, banyak keluarga muslim Eropa terdiskriminasi baik dari sisi pendidikan, kesehatan, pekerjaan, pergaulan sosial, maupun akses terhadap kebijakan pemerintah. Itu karena islamophobia di kalangan masyarakat Eropa masih kuat,” tuturnya.
Untuk itu, Hastir mengaku ingin belajar bagaimana kaum muslim Indonesia menangani persoalan-persoalan masyarakatnya yang dianggap sangat berhasil itu. Salah satu isu yang menarik baginya adalah pendidikan Islam Indonesia.