REPUBLIKA.CO.ID,Segala pengalaman yang dilihat Isabelle Eberhardt, yang didengarnya, pikiran dan perasaan yang selalu menghujam, segala dentuman batin yang berdebur-debur dalam dada wanita itu, dilukiskanya dalam karangan-karangannya yang berharga.
Dengan penuh pengertian dan dengan cara yang teliti, ia melukiskan cara-cara hidup suku-suku Arab dan Barber di Tunisia, Aljazair dan Maroko.
Di dalam Catatan Perjalanan, Isabelle Eberhardt melukiskan perjalananya itu sehari demi sehari, dengan tangkas, dengan jujur. Kemudian di dalam Lembaran-Lembaran Islam, ia melukiskan dengan indah sekali, kehidupan Muslim Aljazair.
Sedang bukunya Di Bawah Kehangatan Naungan Islam adalah hasil karyanya yang dianggap paling indah, suatu penyelidikan yang paling jujur tentang Islam dan kehidupan bangsa Islam.
Setelah Isabelle diusir dari Aljazair, ia pergi ke Marseille, karena ada keluarga dan sahabat-sahabatnya di kota itu. Untuk mendapatkan mata pencaharian, ia bekerja di pelabuhan. Rupanya pengalaman-pengalaman di tempat itulah yang telah memberi ilham kepadanya mengarang sebuah cerita tentang kehidupan kaum buruh yang hidup berat di pelabuhan Perancis itu, dengan judul Buruh Pekerja Berat.
Selama dalam perjalanan tidak jarang Isabelle mengalami bahaya yang memaksanya harus mempertahankan diri, kadang dari perampok, pencurian atau tekanan lain, yang datang dari penduduk negeri atau dari pihak Perancis sendiri.
Dalam perkembangan kehidupanya itu Isabelle Eberhardt bekerja juga sebagai wartawan, untuk memenuhi permintaan beberapa surat-surat kabar Aljazair.
Ia sering menulis tentang adat istiadat suku-suku bangsa daerah itu, baik di Aljazair sendiri Tunisia atau Maroko, kehidupan di desa dan di sahara, yang kemudian disiarkanya dalam harian al-Akhbar sendiri dengan bahasa Prancis.
Di samping itu ia juga membantu surat-surat kabar Jerman dan juga Rusia. Demikianlah, wanita Muslimah yang masih muda itu melukiskan semua pengalamanya dalam empat bahasa yang dikuasainya, bahasa Arab, Prancis, Rusia, dan Jerman.
Sedang semua buku-bukunya dikarang dalam bahasa Prancis, yang kemudian diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa setelah ia meninggal.
Dalam salah satu risalah ia berkata, "Mereka menanyai aku, mengapa aku mencintai bangsa Arab dan mementingkan kaum Muslimin. Aku hanya menjawab dengan pertanyaan pula kepada mereka; mengapa kalian membeci bangsa Arab dan kaum Muslimin?"
Akan tetapi kematian Isabelle Eberhardt sungguh tragis. Pada Oktober 1904 Isabelle dan suaminya Sulaiman, sedang berada di Ain Safara di Aljazair. Pada waktu itu hujan sedang turun sangat lebat. Banjir yang deras telah memenuhi wadi-wadi, sehingga meluap sampai Wadi Safra yang membelah daerah itu menjadi dua bagian.
Rumah-rumah habis tenggelam, pepohonan terdesak diseret air dan jalan-jalan menjadi rusak semua. Seluruh daerah itu berada dalam bahaya. Jalan untuk menyelamatkan diri sudah tidak ada lagi.
Sebelum sempat ia membuat rakit, rumah yang sudah tergenang air itu kemudian roboh. Di sisi-sisi kayu yang tadinya hendak dibuat rakit itu, terdapat mayat wanita yang sudah terkapar.
Isabelle Eberhardt telah mati di bawah reruntuhan. Tidak jauh dari mayat wanita itu, terdapat lembaran-lembaran terakhir tulisan tanganya sendiri dari bukunya Di Bawah Kehangatan Naungan Islam.
Onislam melansir, di tempat bekas rumah tinggalnya yang telah dilanda banjir besar tahun 1904 itu, tempat dia sendiri tenggelam, di tempat itulah kemudian Isabelle Eberhardt dikuburkan. Aampai sekarang di tempat itu kuburannya masih ada.
Isabelle Eberhardt mengenal Aljazair, Tunisia, Maroko melebihi bangsanya sendiri. Karangan-karangannya yang ditinggalkan, dianggap sebagai suatu sumber yang paling berharga tentang Afrika Utara.