Oleh: H Dadang Kahmad
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rasanya miris dan menyedihkan menonton banyak berita tentang anak yang menggugat ibu kandungnya yang telah tua renta ke pengadilan. Kesalahan seberat apakah yang telah dilakukan sang ibu sehingga si anak setega itu? Apakah tidak ada lagi cara yang lebih bermoral? Sedih, iba, dan ironis, apalagi mereka itu sama-sama beragama Islam.
Padahal, Rasulullah SAW saat didatangi seorang sahabat dengan jelas menyatakan bahwa ibu harus dimuliakan. "Ya Rasulullah, siapakah yang paling berhak memperoleh pelayanan dan persahabatanku?'' tanya sahabat. Rasulullah menjawab, ''Ibumu, ibumu, ibumu, kemudian ayahmu. Kemudian, yang lebih dekat kepadamu dan yang lebih dekat kepadamu." (HR Bukhari Muslim)
Memang saat ini banyak ibu yang tega membuang anaknya. Namun, jumlahnya sangat sedikit dibandingkan mereka yang mulia, mengurus anak dan suaminya dari sebelum Subuh hingga larut malam. Saat suami dan anak-anaknya belum bangun, ibu sudah mulai bekerja. Pada malam hari ketika semua anggota keluarga tidur, barulah beliau beristirahat.
Mari kita telaah lebih jauh lima ayat pertama yang diwahyukan, surah al-'Alaq:1-5, mencerminkan betapa ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW begitu mengagungkan kedudukan kaum ibu. Al-'Alaq salah satu maknanya adalah sesuatu yang menggantung di dinding rahim.
Perintah "membaca" berkali-kali tentu saja bukan sekadar membaca teks, melainkan bermakna luas, membaca diri dan alam raya yang luas. Lima ayat pertama itu mengajak kita merenungi asal mula kejadian diri, bahwa kita semua, kecuali Adam dan Hawa, pernah tinggal dalam rahim ibu. Kedudukan atau status sosial setinggi dan semulia apa pun, semuanya berasal dari rahim seorang ibu. Tak pantas untuk menyombongkan diri. Semuanya sama, berasal dari Allah lewat pintu rahim yang dititipkannya sebelum lahir ke dunia ini.
Pantaslah Allah SWT murka jika seorang anak lupa diri dan durhaka kepada kedua orang tuanya. Jangankan membantah, apalagi memarahi, mengatakan "ah" saja tidak boleh. "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan mulia." (QS al-Isra:23).
Allah mengingatkan supaya menghormati kedua orang tua seperti yang disampaikan dalam surah Luqman ayat 14: "Dan Kami (Allah) berwasiat kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tua. Ibunya telah mengandungnya dengan menderita kelemahan di atas kelemahan, yakni terus-menerus dan masa menyusuinya dalam dua tahun. Hendaklah engkau bersyukur kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu."
Ayat di atas memberikan ilustrasi nyata betapa seorang ibu berkorban jiwa raga demi kelahiran anaknya. Mengandung sembilan bulan, kepayahan, kemudian sebelum melahirkan dirinya bertaruh nyawa. Maka, amat pantas jika Allah menempatkan seorang ibu dalam posisi kedua yang harus dimuliakan setelah manusia mengabdi kepada Allah sebagai Tuhannya.
Kedudukan mulianya memang wajar. Sejak dalam rahimnya, seorang anak bergantung pada ibu. Lewat tali ari-arinya seorang anak dalam rahim menyerap makanan yang ada dalam diri ibunya. Ketika seluruh organ tubuhnya terbentuk dan diberi nyawa, seorang ibulah yang merasakan getarannya sehingga kedekatan kita dengan ibu sudah terjalin sejak ada dalam rahimnya.
Setelah lahir dan besar, ibu pula yang berperan mengajarkan ilmu dalam bertutur kata dan menyerap ilmu kehidupan. Maka, pantaslah jika kemudian dikatakan bahwa "Surga itu ada di bawah telapak kaki ibu." Dengan peranan seorang ibu, anak manusia dapat melangkah menggapai surga.
Memuliakan ibu dan ayah sama dengan memelihara kemajuan peradaban kemanusiaan. Begitu tingginya kedudukan orang tua sehingga berkhidmat kepadanya setara dengan berjihad di jalan Allah. Wallahu'alam.