REPUBLIKA.CO.ID,
Sekira 76 persen dari total lokasi itu, sudah bersertifikat wakaf. “Yang belum bersertifikat ini, kebanyakan di perkotaan. Ini yang diincar pengembang. Ini tantangan terbesar kita,” ujar Achmad Djunaedi, Senin (2/2).
Selain itu, Achmad menjelaskan, mayoritas dari total lokasi tanah wakaf itu ada di daerah-daerah perdesaan. Sehingga, potensi ekonominya kurang daripada yang berlokasi di perkotaan.
Hal inilah yang menjelaskan, adanya jurang antara potensi wakaf dan realisasinya. Sebab, lokasi perkotaan lebih menjanjikan secara komersil dibandingkan perdesaan.
“Minimal, 10 persennya dari 430 ribu lokasi, diarahkan ke kota besar. Juga, wakaf produktif dikembangkan. Dan pengurusnya supaya yayasan, jangan perorangan,” tutur Achmad Djunaedi, Senin (2/2).
Achmad juga menyebutkan, pemerintah sendiri sudah mengampanyekan wakaf sebagai potensi ekonomi umat Islam Indonesia.
Sejak pencanangan Gerakan Nasional Wakaf Uang dan Gerakan Wakaf Produktif oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2010 lalu, mulai turut serta banyak lembaga dana kemanusiaan Islam.
Misalnya, Dompet Dhuafa, Al Azhar, PKPU, ESQ, Nurul Fikri, dan juga BMT-BMT (Baitul Mal wa Tanwil). Kesemuanya itu, ikut ke dalam Gerakan Wakaf Uang.
Bahkan, nilainya kini mencapai Rp 200 miliar dan diproyeksikan sampai Rp 1 triliun. “Sejak dicanangkan Presiden SBY, dana itu bermula dari Rp 7 miliar,” jelas Achmad Djunaedi.
Lebih jauh, Achmad juga ingin pihaknya mengajak mitra-mitra profesional yang mampu mendampingi pihak pengelola wakaf di tiap lokasi seluruh Indonesia. Sehingga, lima tahun ke depan, kata Achmad, diharapkan potensi ekonomi bisa lebih dikembangkan darinya.
“Terutama masjid yang strategis di perkotaan itu, agar dibangun menjadi berlantai banyak. Jangan sampai juga tanahnya diambil pengembang,” pungkas Achmad Djunaedi.