REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Aksi terorisme di berbagai belahan dunia dipengaruhi oleh banyak faktor. Kemunculan tindak terorisme pun dinilai sebagai respons terhadap situasi yang dialami oleh kelompok masyarakat yang dipicu oleh kezaliman global yang mengatasnamakan agama Islam.
“Maka memberantas terorisme itu bukan ideologinya akan tetapi pada penyebabnya itu, ” ujar Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) M. Cholil Nafis pada acara seminar sekaligus bedah buku “Al Qaeda: Kajian Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya” karya As’ad Said Ali, Senin (26/1).
Ia mencontohkan, kelompok radikal Alkaidah yang dilanjutkan oleh aksi kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) merupakan respons dari pemahaman keagamaan Islam yang dipicu oleh invansi negara berkuasa.
Namun dengan dalih apapun, ujarnya, termasuk ajaran Islam tidak dapat dibenarkan menggunakan kekerasan guna menegakkan syariat Islam. “Nabi SAW telah memberi contoh mengenai pelaksanaan Islam melalui negara, yaitu Piagam Madinah,” tegas Cholil.
Piagam ini menjabarkan hubungan agama dengan negara yang diimplementasikan dalam konstitusi yang disepakati bersama oleh masyarakat yang plural. Bahwa otoritas negara terhadap keagamaan masyarakat sebatas menjamin keberlangsungan, kebebasan untuk memilih dan memeluk agama, mengatur militer serta terpeliharanya perdamaian dalam kehidupan bersama.
“Nabi Muhammad SAW mendirikan negara Madinah tidak melabelkan negara Islam, tetapi bersifat umum dan berdasarkan atas kesepakatan masyarakat,” tambahnya
Dijelaskannya, hubungan agama dan negara diletakkan sebagai relasi yang kuat dan resmi. Pluralitas keagamaan dilihat sebagai keniscayaan yang harus dilindungi oleh negara.
“Intinya, pembentukan negara bersifat ijtihadi menuju kemaslahatan umat. Heterogenitas adalah keniscayaan, tetapi tetap dalam bingkai keteraturan yang taat kepada hukum dan kesepakatan,” pungkas Cholil.