REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tubuh Undarwati (32 tahun) langsung lemas, darah seakan tidak mengalir ketika dokter memvonis anaknya yang baru berusia 2,5 tahun, Muhammad Mahfudz mengidap langerhans cell histiocytosis (LCH), kanker langka yang menyerang sel-sel jaringan tubuh.
“Saya merasa shock, berasa mimpi ketika anak saya divonis mempunyai kanker, langka lagi,” ungkapnya mengenang kejadian dua bulan lalu saat memeriksakan anaknya yang keempat tersebut ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Di RSCM, Mahfudz merupakan salah satu dari tiga pasien pengidap penyakit langka tersebut.
Dirinya semakin tertekan ketika dokter tidak mau menjawab saat ditanya berapa persen peluang anaknya sembuh. Dokter spesialis anak Hikari Ambarasakti, hanya menyatakan agar pihak keluarga bersabar dan tetap semangat mengobati Mahfudz.
Sadar tidak boleh larut terus dalam kesedihan, Undarwati pun semangat dan sabar mengikuti setiap proses pengobatan anak tercintanya dengan bolak balik antara rumahnya di Jalan Pegujaten No 59 RT 004/07 Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jaksel dengan rumah sakit di Salemba, Jakpus.
Dalam pengobatan yang sudah berangsung dua bulan ini, Mahfudz sudah menjalani tiga kali oprasi dan sembilan kali kemoterapi. Karena kanker LCH tersebut menimbulkan benjolan di kedua selangkangan, dan terakhir di bagian leher.
Mempunyai anak dengan menderita kanker bukanlah beban yang ringan. Selain hampir sebagian besar waktunya disibukan dengan urusan pengobatan rumah sakit, Undarwati juga harus memutar otak agar dapat biaya ongkos, dan akomodasi lainnya. Tapi, ia pantang menyerah. “Sampai kapan pun saya akan terus berjuang untuk mengobati anak saya,” tekatnya.
Memang, pengobatan ditanggung oleh kartu jaminan kesehatan dari pemerintah. Namun keseringan Undarwati harus membeli obat di luar rumah sakit, karena obat dari kartu tersebut sangat terbatas. “Mending kalau saya lagi ada uang. Kalau lagi tidak ada, saya suka bingung sendiri, saudara sih sering bantu namun kemampuannya juga sangat terbatas,” akunya.
Sedangkan suami Undarwati, Ahmad Fathoni (37) tidak bisa berbuat banyak. Gajinya sebagai seorang pengajar Alqur’an di majlis taklim daerah Condet, Jaktim yang Rp 800 ribu per bulan hanya cukup untuk makan saja.
Untuk mengurangi beban keluarga Mahfudz, melalui program Zakat Peer to Peer (ZPP), Badan Wakaf Al-Qur’an (BWA) menggalang dana zakat harta (dan juga donasi). Sehingga pengobatan bayi tak berdosa tersebut dapat dilakukan secara maksimal dan zakat Anda tertunaikan. Dan tentu saja pahala berlimpah kita dapatkan karena telah membantu sesama.
Ayo bantu ringankan beban Keluarga Mahfudz melalui Zakat Peer to Peer Anda! Klik disini