REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Irwan Kelana
Banyak ulama yang lahir dari Tanah Minangkabau, Sumatera Barat, sejak zaman perjuangan kemerdekaan hingga saat ini.
Umumnya para ulama dari Minangkabau, Sumatera Barat, dipanggil dengan panggilan kehormatan Buya atau Syekh. Gelar Buya atau Syekh seperti gelar Kiai di Pulau Jawa.
Namun ada satu ulama asal Sumatera Barat yang dipanggil Kiai. Dia adalah KH Mawardi Labay El Sulthani. “KH Mawardi Labay El Sulthani merupakan satu-satunya ulama asal Minangkabau yang dipanggil “Kiai”,” kata kemenakan Mawardi Labay, Evi Afrizal Sinaro kepada Republika, Rabu (15/1).
Mawardi Labay dilahirkan di Dusun Surau Ladang, Koto Marapak, Kec IV Angkat Canduang, Kabupaten Agam Sumatera Barat, 5 Maret 1936. Ibunya bernama Raiyah, sedangkan ayahnya adalah Buyung Labay Sutan.
Pendidikan agamanya dimulai dari sekolah Mualimin Padang Panjang, Sumatera Barat. Selanjutnya, ia lebih banyak berguru kepada ulama-ulama, seperti Buya Malik Ahmad, Buya Duski Samad, Buya Nurdin Hakami dan Buya Hamka.
Ia memulai kegiatan dakwahnya saat usia 40 tahun dengan mengisi pengajian ibu-ibu dari rumah ke rumah, dari masjid ke masjid dan dari kantor ke kantor.
“Pada zaman pemerintah Orde Baru (Presiden Soeharto), beliau mengisi kegiatan dakwah hampir di semua departemen dan kantor lembaga tinggi negara dan stasiun TV,” ujar Afrizal.
Mengapa Mawardi Labay baru mulai terjun ke bidang dakwah pada usia 40 tahun? Afrizal menceritakan, sebelumnya, Mawardi merupakan saudagar.
Mula-mula ia menjadi pedagang kaki lima (PKL) di Bandung, Jawa Barat. Kemudian ia merantau ke Jakarta. Di ibukota, awalnya ia berdagang ikan asin, kemudian meningkat menjadi pedagang tekstil (kain) di Roxy, Jakarta Pusat.