Kamis 11 Dec 2014 17:03 WIB

Menag: Toleransi Bukan Memaksa untuk Meleburkan Diri

Rep: c60/ Red: Joko Sadewo
Menag, Lukman Hakim Saifuddin
Foto: Humas Kemenag
Menag, Lukman Hakim Saifuddin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Menteri Agama, Lukman Hakim Saifudin mengakui bahwa di dalam agama islam terdapat perbedaan pandangan mengenai penghormatan terhadap perayaan agama lain. Untuk itu, dalam menanggapi perbedaan tersebut, semua kalangan diminta untuk saling menghormati dan tidak saling menyalahkan.

“Jadi di internal Islam sendiri terdapat pemahaman beragam. Jadi jangan saling memaksakan apalagi saling menyalahkan.  Bagi yang ingin mengucapkan, ucapan selamat ya kita hormati karena keyakinannya membolehkan. Tapi bagi yang tidak, umat kristiani diharapkan memahami tidak perlu berkecil hati,” ujar Lukman Hakim Saifudin, dalam di Kantor Kemenag, Kamis (11/12).

Secara gamblang, dia menjelaskan bahwa tolerasni adalah kesaradan untuk memahami dan mengerti akan perbedaan. Toleransi, kata dia, mewujud kepada sikap saling menghormati dan menghargai. “Bukan menuntut apalagi memaksa untuk meleburkan diri. Tidak juga mencampuradukkan antara perbedaan-perbedaan yang hakikatnya memang sudah berbeda,” tegasnya.

Oleh karena itu, dia meminta kepada semua umat, terutama umat kristianai, tentang adanya perbedaan dalam umat islam. Dia menjelaskan, sebagian ulama Islam yang mengatakan, untuk tidak mengucapkan ucapan selamat natal.

“Sebagian ulama mengatakan, sebaiknya umat islam tidak mengucapkan selamat natal kepada umat keristiani, dengan dasar yang beragam. Tapi juga tidak sedikit ulama islam yang mengatakan bahwa mengucapkan selamat kepada umat kristiani tidak apa-apa,” ujar dia.

Dia menyebut, Alquran surat Maryam ayat 33 menjelaskan, mengucapkan selamat natal itu sesuatu yang dianjurkan. “Karena memang Nabi Isa sendiri mengatakan, berikan salam kepadaku saat lahir dan meninggal,” ujarnya.

Demikian pula, dalam penggunaan atribut perayaan natal, umat islam memiliki pandangan yang berbeda. Sebagian ulama membolehkan mengenakan pakaian sinterklas, dengan alasan menjaga hubungan persaudaraan.

Namun ada pula sebagaian ulama Islam melarang pemakaian atribut tersebut. “Karena ada faham tasabbuh atau menyerupai. ‘Man Tasabbaha Biqoumin Fahuwa Minhum’ siapa yang menyerupai sebuah kaum, maka dia bagian dari kaum tersebut,” pungkas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement