Senin 01 Dec 2014 08:42 WIB

Meluruskan Niat

Ustaz Yusuf Mansur.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ustaz Yusuf Mansur.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Yusuf Mansur

 

Saya dipanggil ustaz. Alhamdulillah. Nggak minta, tapi orang-orang yang memanggil saya demikian. Nggak menyandang sebutan ustaz aja udah berat, apalagi menyandang sebutan ustaz.

Tentunya akan semakin berat. Sebab, ada amanah sebutan. Makin kudu (harus) jaga diri. Makin kudu jaga akhlak.

Tetapi, hal ini bisa salah niat. Sebab, menjaganya bukan karena Allah, melainkan karena manusia. Dan ini bisa fatal akibatnya.

Saat nggak ada manusia yang melihat, bisa jadi saya kemudian jadi ustaz yang malas, jahat, berkelakuan buruk, beribadah jelek. Akan berbeda ketika ada manusia, yang—mungkin—tampak rajin ibadah, dan lainnya.

Saya pilih dengan izin Allah, konten tahfiz, konten sedekah, dan beberapa konten utama lain. Lalu ada ustaz lain yang membantu. Bagaimana hati saya? Senangkah, atau sebel? Sukakah, atau kesal?

Kok membawakan materi saya sih? Jika ini yang tampak, masuklah saya juga—barangkali—kepada orang-orang yang salah niat.

Seharusnya kan dengan banyak yang membantu, maka akan banyak senangnya, karena banyak yang membantu dan menyebarkannya.

Jadi ustaz itu, bukan jualan isi air. Ini tamsil loh ya, hanya contoh, pemisalan saja. Jadi ustaz itu, ibaratnya membawa ember. Tujuannya untuk membagikan isi air kepada yang lain.

Maka manakala ada yang mau membantu, harusnya senang, karena mereka membantu membawakan dan membantu membagikannya.

Ya. Jadi ustaz bila kemudian saya malah jual air, bahkan jual embernya, maka makin celakalah saya. Sebab, saya sudah menjual agama saya. Berkedok sebagai ustaz —yang katanya membantu umat, menyelamatkan umat.

Saya ini berbicara untuk diri saya sendiri, untuk juga bicara tentang pemerintahan. Bila kurang atau tidak ikhlas, bila salah salah niat, maka yang ada adalah perang melulu, ribut melulu.

Jualan air terus. Bahkan jualan embernya juga, seperti yang saya ceritakan. Dia nggak mau dibantu, sebab salah niat. Bukan kepengen membagikan air, tetapi karena takut orang lain yang untung.

Saya melihat, dewasa ini persaingan semakin keras, dalam bidang apapun, bahkan cenderung kurang sehat. Mereka perlu diingatkan, sebab bila kurang niat, apalagi sampai salah niat, salah-salah, buru-buru menjual negara, buru-buru menggadaikan rakyat, menggadaikan amanah rakyat yang memercayainya.

Bila datang pujian, tentunya sebagai ustaz, saya harus mengembalikan kepada Allah. Sebab, jalan sebagai ustadz, Allah yang telah memberi. Juga konten, cara, kesempatan, umur, fisik, kebisaan.

Semua itu adalah fa minallaah yakni dari Allah. Bila ada hinaan, makian, celaan, cobaan, hambatan, atau apapun, maka sebaiknya kembalikan semuanya kepada Allah.

Demikian pula kiranya yang sedang memimpin saat ini. Yang sedang memerintah sekarang ini. Juga buat semua yang mengaku cinta negeri, bela negeri, cinta negara, bela Negara, atau membela kepentingan rakyat. 

Semuanya perlu me-review (meninjau ulang) niatnya. Semuanya, di posisi apa pun mereka, dan di bidang apa pun.

Dan benarlah sabda Rasulullah SAW: ”Innamal a'malu binniyyah. Semua amal itu tergantung pada niatnya.” Jadi pengusaha, jika gagal, tentu akan sedih, dan kecewa. Sebab niatnya, barangkali kepengen sukses semata. Bukan pengen hidup manfaat dan bisa membantu orang.

Karena itu, mari kita sambil du’a bid du’a (saling mendoakan), supaya jadi apa pun, ngerjain apa pun, hendaknya bisa mengikhlaskan diri, semata-mata karena Allah.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement