Sabtu 22 Nov 2014 17:52 WIB

Muslim tak Berkontribusi dalam Demokratisasi Myanmar

Rep: c14/ Red: Chairul Akhmad
Muslim Myanmar
Foto: AP
Muslim Myanmar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sesi kelima Forum Perdamaian Dunia (World Peace Forum-WPF) membahas konflik yang terjadi di Myanmar. Pembicara dalam sesi tersebut antara lain Kepala Islamic Center Myanmar Al-Haj U Aye Lwin dan U Pannasiha, seorang tokoh Buddha Myanmar. Adapun sesi ini berlangsung di Century Park Hotel, Jakarta, Sabtu (22/11).

Dalam paparannya, Al-Haj U Aye Lwin menyatakan, kini Myanmar sedang berada dalam proses demokrasi. Sebelumnya, negeri ini dikuasai oleh junta militer yang membatasi kebebasan sebagian besar rakyat Myanmar. Namun, demokratisasi di Myanmar masih tidak membuka akses terhadap kalangan umat Islam setempat untuk berkontribusi membangun negara.

"Di Myanmar, orang Muslim tidak bisa menjadi bagian dari birokrasi ataupun militer," ungkap Al-Haj U Aye Lwin.

Kemudian, kata Al-Haj, kerap terjadi kesalahpahaman mengenai kaum Muslim Myanmar. Hal ini disebabkan oleh penyebaran berita yang tidak benar oleh sebagian kecil kalangan Buddhis radikal.

Menurut Al-Haj, kalangan Buddhis radikal itu berjumlah sedikit dibandingkan dengan mayoritas umat Buddha di Myanmar. Namun, cara kerja kalangan radikal ini begitu sistematis dalam menyudutkan umat Islam Myanmar.

"Mereka beroperasi sampai ke pelosok Myanmar untuk memengaruhi rakyat yang minim akses informasi dan terpencil."

Al-Haj U Aye Lwin menjelaskan, kalangan radikal Buddhis ini kerap memberitakan Islam sebagai ancaman bagi Myanmar. Bahkan, mereka juga menggadang-gadangkan dalih historis, yakni islamisasi di Indocina sejak prakolonisasi Barat sebagai penjajahan.

"Namun, Buddhis radikal ini tidak mendapat dukungan dari mayoritas umat Buddha di Myanmar," kata Al-Haj U Aye Lwin.

Al-Haj U Aye Lwin lebih lanjut menyebutkan, salah satu sosok yang merepresentasikan mayoritas tersebut adalah U Pannasiha. Sebagai tokoh Buddha, U Pannasiha, menyatakan, agama di Myanmar telah banyak dibajak untuk mendukung sikap radikal dari kalangan ekstremis. Yakni, mereka yang bersikap ultranasionalis.

"Tidak ada yang salah dengan agama dan politik. Alih-alih, kesalahan kerap pada diri sebagian umat beragama dan politikus," pungkas Al-Haj.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement