REPUBLIKA.CO.ID, ARIZONA -- Berjilbab di lingkungan minoritas Muslim tak selalu menjadi hal yang mudah. Ketika itu, Samantha Noyes, muslimah lulusan Arizona State University (ASU) merasakan pagi yang buruk.
“Awal kelas lima adalah urusan serius bagi saya,” kata dia. Ia berlari mengumpulkan pensil dan buku tulis sembari mengepalkan jilbab di tangannya.
Samantha pun membalut dua potong jiilbab ke kepalanya. Mengikatkannya ke setiap arah. “Aku tidak tahu bagaimana cara memakainya,” katanya diakhiri tawa. Namun ternyata tak terlalu buruk sebab teman-teman sekelas akhirnya membantunya.
Saat ini, sarjana yang bekerja sebagai spesialis dukungan keluarga di Phoenix sangat menyadari pandangannya tentang jilbab yang telah berkembang selama bertahun-tahun.
Di Arizona, di mana umat Islam membentuk fragmen penduduk, menjadi seorang minoritas dapat meningkatkan tekanan dalam memutuskan apakah akan memakai jilbab atau tidak.
Dikatakannya, meskipun masih khawatir pada kemungkinan diskriminasi, tidak boleh ada yang menghambat penggunaan jilbab bagi muslimah. Noyes pun menceritakan sepenggal pengalamannya di bandara.
Ketika itu setahun yang lalu, seorang asing mendekatinya. “Dia berjalan ke arahku dan berkata, Teroris,” kenangnya. Noyes membiarkannya dan berlalu pergi meski sempat terkejut karena ia tidak pernah mengalami hal tersebut sebelumnya.
Noyes bercerita, ayahnya seorang Muslim sementara ibunya seorang Katolik Roma yang taat. Dia mengatakan, orangtuanya tidak memaksanya untuk memilih jalur agama. Tapi keputusan masuk Islam menjadi lebih mudah karena ibunya pun masuk Islam.
Ibu Noyes dan kebanyakan wanita di keluarga ayahnya memilih untuk tidak mengenakan jilbab. Terlepas dari ketaatan beragama, Noyes lebih suka berjilbab karena di samping menjadi kewajiban, berjilbab adalah kesopanan dan pengalihan tubuh perempuan untuk lebih menonjolkan kepribadiannya.
Staf Pengacara Cabang Dewan Negara Hubungan Amerika-Islam Liban Yousuf mengungkapkan, meskipun umat Islam umumnya diperlakukan dengan baik di negara bagian, diskriminasi anti-Islam terhadap perempuan Muslim masih tetap terjadi.
Ketika Islamophobia bermain keluar pada tingkat dasar, kata dia, diskriminasi lebih mudah terjadi pada Muslimah secara langsung karena mereka mudah dikenali sebagai Muslim. “Karena berjilbab berarti Muslim,” katanya.