REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para warga pesantren, baik kiayi maupun santri harus menjaga izzah alias harga diri, dengan membangun kekuatan ekonomi, yakni dengan berbisnis.
Sebab, pesantren telah memiliki modal kekuatan karakter ditambah pengetahuan agama yang baik, sehingga berdampak pada keberlangsungan ekonomi yang sehat di masyarakat.
“Jangan sampai pesantren dan lulusannya mengandalkan pemasukan utamanya dari baca doa atau ngisi ceramah saja,” kata pendiri pesantren wirausaha sekaligus Trainer Personal Development dan Leadership Jamil Azzaini kepada Republika, Sabtu (15/11).
Kiayi dan santri, lanjut Jamil, mesti menggali kreativitas yang terpendam dalam dirinya, dan dalam teori keislaman yang mengajarkan tentang bisnis syariah.
Agar mandiri dan tak mengandalkan sumbangan di luar alumni mereka. Selain bisnis, kata dia, pesantren seharusnya mendapat pasokan dana dari para alumninya yang sukses berbisnis.
Dikatakannya. ajaran Islam menegaskan, tangan di atas lebih aik dari pada tangan di bawah. Maka, seharusnya pesantren selain menghasilkan para ahli agama yang shaleh-shalehah juga melahirkan banyak pengusaha syariah.
Pengasuh pesantren Al Ittihad Poncol Solotigo Jawa Tengah sekaligus Ketua PP Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (NU) Arifin Junaidi menyebut, butuh keterlibatan pemerintah dan pengusaha dalam mendukung pelatihan dan permodalan pesantren dalam mengembangkan ekonominya.
Sampai saat ini, kata Arifin, pemerintah masih menganggap pesantren ada dan tiada. Bahkan, pesantren kerap dijadikan alat mendulang dukungan jelang pemilu saja, kemudian setelah pesta demokrasi berakhir, selesailah urusan pemerintah dengan pesantren.
Beruntung, kata dia, pesantren sejak masa penjajahan telah terbiasa bertahan dan mandiri dan sifat kemandirian itu diwarisi sampai hari ini.
Pada dasarnya, ungkap Jamil, dalam penyelenggaraan keislaman berkualitas, bukan pesantren yang butuh pemerintah, tapi pemerintahlah yang butuh pesantren.