Jumat 17 Oct 2014 18:39 WIB

Dosa Besar Menghapus Keimanan? (2-habis)

Maksiat dan murtad merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Foto: Deviantart.net/ca
Maksiat dan murtad merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Oleh: Hannan Putra     

Dalam ayat lain, seorang mukmin yang berselisih dengan saudaranya, bahkan sampai berperang, tetap keduanya tidak dinilai keluar dari Islam. Padahal, jika sudah berperang, salah satu niat utamanya, yaitu membunuh lawannya.

Allah SWT berfirman, “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.”

“Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), damaikanlah antara keduanya dengan adil; dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu, dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS al-Hujuraat [49]: 9-10).

Makna kedua ayat di atas menetapkan adanya keimanan dan persaudaraan seagama antara sesama mukmin meskipun mereka berperang. Rasulullah SAW bersabda dalam hadis sahih, “Janganlah kalian kembali menjadi kafir sepeninggalku nanti, sebagian kalian memukul wajah sebagian yang lain!”

Kemudian hadis Rasulullah SAW lagi, “Bila dua orang Muslim berhadapan dengan masing-masing menghunus pedang maka yang membunuh dan yang dibunuh sama- sama masuk neraka!”

Dengan merujuk pada hadis yang disebut terakhir itu, Imam Bukhari berdalil bahwa kemaksiatan tidak menjadikan pelakunya kafir sebab Rasulullah SAW (dalam hadis tersebut) masih menyebutnya sebagai “dua orang Muslim” meskipun keduanya diancam dengan neraka. Adapun yang dimaksud peperangan di sini, yaitu bila terjadi tanpa takwil yang layak.

Seseorang yang berkhianat pun tidak dihukumi keluar dari Islam. Suatu ketika sahabat Hathib bin Abi Balta’ah pernah melakukan suatu kesalahan yang pada zaman sekarang dapat disebut sebagai “pengkhianatan terbesar” ketika ia hendak membocorkan rahasia Rasulullah SAW dan pasukannya kepada kaum Quraisy menjelang penaklukan Kota Makkah.

Ketika itu Umar berkata, “Ya Rasulullah, izinkan saya untuk memenggal lehernya karena ia telah berbuat munafik.”

Bagaimana sikap Rasulullah SAW? Apakah beliau menghukumnya? Tidak, beliau tidak menghukumnya. Beliau malah memaafkannya dengan alasan ia termasuk orang yang ikut serta dalam Perang Badar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement