Oleh: Imam Nawawi
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jika dunia memerlukan cahaya matahari, demikian pula halnya dengan akal, jiwa, dan indra manusia. Semuanya membutuhkan cahaya yang murni dan mampu mengantarkan frame berpikir dan perilaku manusia tepat secara konsisten berada dalam kebenaran, yaitu cahaya dari Allah (Nur Allah).
Mengenai Nur Allah ini, alat ukurnya sungguh tidak sulit. Bahkan, sangat-sangat mudah bagi setiap jiwa untuk melihat dan memahaminya. Hal ini berdasarkan pada apa yang Allah Ta'ala jelaskan di dalam firman-Nya.
“Maka, apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka, kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS az-Zumar [39]: 22).
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa orang yang dengan riang gembira menerima Islam sebagai way of life adalah termasuk orang-orang yang mendapat dan menangkap Nur Allah sehingga terhadap apa pun yang menjadi ketentuan agama Islam, baginya adalah anugerah besar yang mesti diimplementasikan.
Sedangkan, orang yang tidak mendapat Nur Allah adalah mereka yang jiwanya lebih memilih kebatilan sebagai jalan hidup sehingga hati yang merupakan perangkat terpenting untuk menangkap Nur Allah menjadi tidak berfungsi dan terus berada dalam kegelapan demi kegelapan.
Dengan kata lain, setiap Muslim sebenarnya bisa mendeteksi keberadaan hatinya, sudah atau belum menangkap Nur Allah atau malah menolaknya. Jika menangkap Nur Allah, tentunya hati, pikiran, dan gerak badan akan sangat ringan dalam menjalankan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Akan tetapi, jika sebaliknya, tentu akan muncul pikiran negatif terhadap aturan Islam sehingga pada akhirnya enggan menjalankan aturan Islam.
Apabila kita ingin Nur Allah itu terus menyinari jiwa raga kita hingga akhir hayat, langkah yang mesti kita lakukan adalah menaati Allah dengan cara terus meningkatkan ketakwaan dan beriman kepada Rasul-Nya dengan mengikuti sunahnya penuh keikhlasan. Sebab, hanya cara itulah yang akan menjamin hati kita tetap disinari oleh Nur Allah.
“Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Hadid [57]: 28).
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa siapa yang bertakwa kepada Allah dan beriman kepada Rasul-Nya dijamin akan mendapat cahaya (Nur Allah) yang dengannya jiwanya akan terhindar dari kebutaan dan kebodohan. Bahkan, ada ampunan yang Allah sediakan bagi hamba-hamba-Nya yang benar-benar memelihara Nur Allah. Untuk itu, di dalam Alquran, Allah menuntun kita untuk senantiasa berdoa agar Allah menyempurnakan nur-Nya di dalam relung sanubari.
“Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS 66: 8).