REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Palu itu akhirnya diketok. Jumat (25/9), Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal (JPH) sah menjadi undang-undang.
Tak ada interupsi berarti dari seluruh anggota DPR. Politikus Senayan memuluskan pengesahan 11 bab dan 68 pasal dalam rancangan beleid yang sudah dibahas delapan tahun tersebut.
Beleid ini mengamanatkan sertifikasi halal akan dilakukan lewat tiga institusi secara berjenjang. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Meski terkesan rumit, pemerintah optimistis, penerbitan sertifikat halal akan sederhana, cepat, dan efisien. Sekretaris Jenderal Kementerian Agama (Kemenag) Nur Syam mengungkapkan, BPJPH akan berbentuk badan layanan umum (BLU). Artinya, BPJPH bisa menggunakan secara langsung penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hasil dari sertifikasi halal.
Dengan sistem BLU, produsen yang mendaftar untuk menyertifikasi halal dapat segera diperiksa dalam jangka waktu beberapa hari. “Jadi, ketika uang masuk maka bisa langsung digunakan,” ujarnya.
Sistem seperti ini, kata dia, disebut juga sistem out in. Saat ada uang yang masuk, dapat segera dialokasikan untuk kebutuhan badan. Setelah itu, barulah kemudian dilaporkan ke kas negara.
Meski demikan, adanya perbedaan antara lembaga pemeriksa dan penerbit sertifikat halal dapat menjadi kendala. Terlebih, pengajuan halal juga harus mendapatkan fatwa dari MUI. Skema ini bisa memperpanjang birokrasi prosedur sertifikasi halal.
Oleh karena itu, ada beberapa pihak yang tidak puas terhadap lahirnya UU JPH. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), misalnya, akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
PBNU menilai, kewenangan yang diberikan kepada MUI dinilai masih terlampau besar. Hal itu dianggap sebagai bentuk monopoli yang seharusnya tidak boleh terjadi.