Selasa 07 Oct 2014 07:38 WIB

Wariskan Standar Label Hijau

Rep: c60/ Red: Chairul Akhmad
Label halal.
Foto: Republika/Prayogi/ca
Label halal.

REPUBLIKA.CO.ID, Berbusana serbabiru, Nurul Fajrina (25 tahun) mendatangi kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jakarta, Kamis (2/9) lalu.

Perempuan lulusan Teknologi Pangan Universitas Padjadjaran ini hendak mempelajari beberapa berkas perusahaan yang mengajukan sertifikasi halal di gedung yang terletak di sisi Jalan Proklamasi.

Nurul memang satu dari puluhan auditor yang bekerja di Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Makanan (LPPOM). Pengesahan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) tak membuat pekerjaannya terhenti. LPPOM memang masih diamanatkan untuk melakukan sertifikasi sebelum realisasi UU JPH efektif lima tahun mendatang.

Kepada Republika, Nurul pun bercerita tentang tugasnya sehari-hari. Dia mengaku, diwajibkan mempelajari data yang dikirim perusahaan pemohon sertifikasi sebelum memeriksa ke lapangan. “Setelah data dipelajari, baru nanti kita menyiapkan hari untuk melakukan pengecekan ke perusahaan,” ujarnya.

Usai menyepakati waktu pemeriksaan, auditor lantas dijemput perusahaan untuk mengaudit. Tim auditor, kata Nurul, bisa beranggotakan dua hingga tiga orang. Jumlahnya bergantung pada jumlah produk, proses produksi, atau luas perusahaan.

“Kalau tidak terlalu banyak, yang diaudit cukup dua orang. Tapi, kalau banyak yang diaudit, biasanya hingga tiga orang,” tambahnya. Terkadang, kata dia, anggota komisi fatwa MUI turut hadir dalam proses tersebut.

Dia mencontohkan, saat tim auditor memeriksa rumah pemotongan hewan, komisi fatwa hadir untuk memastikan proses penyembelihan sudah sesuai syariat Islam.

Dia menjelaskan, ada standar tertentu yang harus dipenuhi perusahaan untuk mengajukan sertifikat halal. Persyaratan tersebut nantinya akan diperiksa tim audit LPPOM MUI.

Wakil Direktur LPPOM bidang Sistem Auditing dan Sistem Bidang Jaminan Halal Muti Arintawati mengungkapkan, tidak ada perubahan kinerja para auditor dalam memproses sertifikasi halal. Menurutnya, sertifikasi produk tetap dilakukan dengan standar baku LPPOM.

Dia pun berharap, penyelenggaraan UU JPH masih mereferensi standar dari MUI untuk mengeluarkan "label hijau". “Semoga tetap menggunakan standar kehalalan yang sudah dipakai selama ini, bukan standar baru,” ujar Muti.

Standar yang sudah berlaku selama ini, ujarnya, sudah cukup baik karena merupakan penyempurnaan dari sistem sebelumnya. Muti mengatakan, perkembangan standar tidak lepas dari upaya yang telah dilakukan MUI selama puluhan tahun. “MUI kan sudah mengembangkannya selama 25 tahun lebih,” ujar Muti.

Meski demikian, Muti mengingatkan, proses sertifikasi bukan merupakan hal sepele. Menurutnya, proses tersebut berdampak kepada adanya jaminan kehalalan bahan yang akan dikonsumsi umat. Pelanggaran terhadap sertifikasi, ungkapnya, akan memperbesar risiko kebocoran terhadap jaminan halal.

Muti juga mewanti-wanti agar standar halal tidak dipermudah untuk kepentingan di luar esensi halal. Terkadang, kata dia, kepentingan tertentu, seperti politik, perdagangan, dan kepentingan lain, bisa menghilangkan esensi halal.

Di samping itu, menurut Muti, penyelenggaraan UU JPH harus memperhatikan kemampuan dan kredibiltas para penyelenggara. Dia menjelaskan, penyelengara RUU JPH akan menentukan kualitas kehalalan produk. “Orang yang punya kompetensi dan pengalaman sangat penting,” ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement