REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu makna dari hari raya, yakni perayaan kemenangan setelah melewati suatu ujian. Hari Raya Idul Fitri merayakan kemenangan setelah sebulan lamanya berpuasa. Demikian juga, dengan Hari Raya Idul Adha yang juga diawali dengan puasa. Kendati tidak diwajibkan seperti puasa Ramadhan, puasa jelang Idul Adha sangat dianjurkan bagi mereka yang tidak menunaikan haji.
Puasa pada awal bulan Dzulhijah ini sering dinamakan puasa Arafah. Penamaan ini mengingat kesamaan waktunya dengan wukufnya jamaah haji di Padang Arafah, yakni sembilan Dzulhijjah. Mereka yang tidak wukuf di Arafah juga bisa mendapatkan keutamaan pahala di sisi Allah dengan berpuasa. Dalam hadis diterangkan, "Tiada hari yang lebih banyak Allah membebaskan hambanya dibanding Hari Arafah." (HR Muslim).
Salah satu makna dari hari raya, yakni perayaan kemenangan setelah melewati suatu ujian. Hari Raya Idul Fitri merayakan kemenangan setelah sebulan lamanya berpuasa. Demikian juga, dengan Hari Raya Idul Adha yang juga diawali dengan puasa. Kendati tidak diwajibkan seperti puasa Ramadhan, puasa jelang Idul Adha sangat dianjurkan bagi mereka yang tidak menunaikan haji.
Puasa pada awal bulan Dzulhijah ini sering dinamakan puasa Arafah. Penamaan ini mengingat kesamaan waktunya dengan wukufnya jamaah haji di Padang Arafah, yakni sembilan Dzulhijjah. Mereka yang tidak wukuf di Arafah juga bisa mendapatkan keutamaan pahala di sisi Allah dengan berpuasa. Dalam hadis diterangkan, "Tiada hari yang lebih banyak Allah membebaskan hambanya dibanding Hari Arafah." (HR Muslim).
Model puasa Arafah ada beberapa tahapan. Ada yang berpuasa sembilan hari dari tanggal satu hingga sembilan Dzulhijah, ada pula yang berpuasa hanya tanggal sembilan Dzulhijah saja. Hal ini berdalil dari hadis Rasulullah SAW, "Sesungguhnya Rasulullah SAW melakukan puasa sembilan hari pada awal bulan Dzulhijjah, Hari Asyura, dan tiga hari di setiap bulan." (HR Ahmad dan Nasa’i).
Puasa delapan hari pada tanggal 1-8 Dzul hijjah ada yang menamakan dengan puasa tarwiyah. Penamaan ini karena bertepatan dengan prosesi tarwiyah jamaah haji. Puasa tarwiyah berpedoman pada hadis, "Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah SAW; puasa hari Asyura, puasa 1-8 Dzulhijjah, tiga hari tiap bulan, dan dua rakaat sebelum subuh." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Nasai).
Puasa Arafah hanya diperuntukkan bagi mereka yang tidak berangkat haji. Adapun yang tengah melaksanakan haji, dilarang untuk berpuasa. Hal ini berdalil dari hadis, "Rasulullah SAW melarang berpuasa pada hari Arafah bagi yang sedang di Arafah." (HR Abu Daud, Ibnu Majah Ahmad, dan Nasa’i). Namun, beberapa imam mazhab ada yang hanya memakruhkannya.
Imam Syafi ’i mengatakan, puasa Arafah merupakan hadiah bagi mereka yang tidak berangkat haji. Mereka tetap dapat beribadah dan ber taqarrub kepada Allah dengan berpuasa. Adapun mereka yang sedang dalam prosesi haji, tidak diperbolehkan berpuasa. Alasannya, agar jamaah haji memiliki kondisi fi sik yang prima dalam melaksanakan haji.
Prosesi haji sangat menuntut kon disi fi sik yang baik. Dari Arafah, Muzdalifah, dan Mina, semuanya menuntut fi sik yang baik untuk berjalan kaki. Dikhawatirkan akan melemahkan fi sik dan menganggu prosesi haji jika jamaah haji ikut pula berpuasa. Bahkan, Rasulullah dan para sahabat tidak berpuasa ketika melaksanakan haji.